Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bunuh Diri, Efek Samping Sikap Bodo Amat

10 Juni 2020   18:55 Diperbarui: 10 Juni 2020   18:54 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian selalu mencengangkan bagi manusia disekelilingnya, mau tidak mau kematian selalu menyisakan beragam misteri yang mungkin tak akan pernah terpecahkan. 

Anak-anak dan handai taulan berkumpul membisikkan kata-kata duka. Kerabat dan teman mengucapkan berkat atas pertemuan sekaligus bibir-bibir mengenang segala peristiwa dimasa lalu.

Lalu tubuh tertimbun tanah, dibakar, atau dipaparkan matahari menuju kesempurnaannya. Isak tangis selalu ada, namun luka akan membekas dalam jauh seiring waktu. 

Kematian berlalu cepat seperti prosesi pemakaman, namun manusia dalam segala kekekalannya akan mengenang beragam peristiwa yang tentu tidak bakal kembali, menyesalinya? Mungkin sudah terlanjur. Kamu, aku semua manusia tak berkuasa atas ajal, sekalipun berbagai riset terus mengejarnya.

Bunuh diri tentu merupakan jalan yang paling menjadi misteri. Tanpa kabar yang jelas seseorang tiba-tiba mengakhiri hidupnya. Keputusan yang dibuat selalu mencekam, dan menggegerkan sekitar.

Dalam khazanah tradisi Jawa ada dikenal istilah pulung. Semacam tanda alam atau wahyu soal kematian ini. Bentuknya katanya seperti bintang, entah sampai saat ini saya juga belum pernah ketemu soal tanda kematian tadi. 

Yang jelas itu masih jadi kepercayaan masyarakat Jawa, biasanya setelah itu rumah atau tempat bunuh diri dibongkar supaya pulungnya tidak menular ke orang lain. Seperti kutukan ketiban pulung nggantung atau bunuh diri dengan gantung diri ini dipercaya membawa sial kepada tempat tersebut, semisterius itu.

Aku malah tertarik dengan perspektif Emha Ainun Nadjib, esainya diberi judul Memaknai Kematian. Ada perikop seperti ini.

"laki-laki itu jelas salah karena membunuh diri. Tetapi darimana sumber 'kesalahan' dan 'bunuh diri' itu? Karena imannya lemah? Mengapa imannya bisa lemah? Karena bakatnya memang demikian atau karena dimasa silamnya ia kurang memperoleh pendidikan tentang iman? Kenapa sampai demikian? Orangtuanya yang salah? Atau karena kemiskinan keluarganya sehingga tidak mendapatkan pendidikan. Kenapa miskin? Karena takdir?  Karena malas? Atau karena dimiskinkan oleh tatanan perekonomian tertentu? Atau karena apa?

Sesungguhnya kematian laki-laki itu merupakan kritik amat besar dan luas kepada seluruh tatanan kehidupan ditinggalkannya."

Memaknai kejadian bukan sebagai kejadian (saja), namun mengorek lagi kenapa sebuah kejadian bisa terjadi, baik faktor dari dalam maupun dari luar. Mengapa orang bisa mengakhiri hidupnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun