Seperti kasus di Kebakramat, Kab. Karanganyar. Tukng rosok asal Sragen kedapatan maling padi* yang masih segar di sawah, karena lock-down membuatnya tidak bisa lagi berkeliling dari kampung ke kampung untuk mencari rosok dan mendaur sedikit rejeki dari barang bekas tersebut. sementara Anak dan istrinya butuh makan, kemana lagi selain maling?
Persoalan ini tentu hanya salah satu contoh realitas bahwa orang kecil yang benar-benar melarat ini, terkadang memang tidak masuk ring diperhatikan oleh sosial, mereka kadang diabaikan begitu saja, belum lagi jika benar-benar seorang tunawisma, banyak mereka yang hanya tidur digerobak, diemperan toko menjelang dini hari akhirnya harus menjadi maling demi memenuhi kebutuhan akan standar minimal hidup. Ya terang saja karena pemerintah abai, atau kalian dan saya juga sering abai.
Ketakutan, kepanikan, kesesatan informasi menimbulkan resistensi individualis dan abai realitas sosial. Niatnya mempertahankan nyawa terhadap wabah sebagai respon alamiah sebagai manusia, namun malah mengabaikan kemanusiaan.
Di Tangerang seorang ibu akhirnya juga meninggal* setelah 'ngempet' minum air galon selama 2 hari. Demikian pula dengan seorang lelaki di Jakarta Barat*, setelah terkena PHK, job-less selama sebulan tak cuma beban mengisi perut yang ditanggung, namun juga beban pikiran menghantui mereka yang sudah terbiasa punya penghasila, perasaan gagal, tidak bisa melanjutkan hidup ini memicu depresi lebih dan akhirnya berakhir bunuh diri. Ini mungkin baru permulaan kasus betapa virus ini tidak hanya membunuh mereka yang positif terkena wabah, tapi juga  berpotensi membunuh mereka yang miskin, depresi, job-less, dan punya banyak masalah disepanjang hidupnya.
Bagi mereka yang bertahan, kondisi psiko-sosial yang berkembang selanjutnya adalah Kebosanan. Terus menerus berdiam diri dirumah harus menemukan alter-egonya. Tekanan situasional untuk mereka yang tidak terbiasa berdiam diri harus meledak suatu hari. Tanda-tanda ini mulai terasa ketika musim puasa Ramadhan tiba.
Dengan dalih yang kuat misalnya ingin beli lauk atau makan sayur, ikut menjaga kampung dari maling, ikut mendistribusikan bantuan bencana ini, ikut berpatroli atau sekedar bosan dan ingin kumpul-kumpul. Mulai terlihat, geliat massa dimana-mana.Â
Di Solo dekat kampus UNS, sebuah mushola sudah tidak lagi bersekat shaf jemaatnya, ketika malam di warung-warung mulai nongkron ramai, warung-warung yang tidak di pinggir jalan raya dan jauh dari amatan petugas, aparat pun demikian banyak kutemui di masa pandemik ini aparat Satpol PP yang bertugas mengingatkan warung-warung justru juga menggerombol tanpa jarak.
Kawan-kawanku relawan pun demikian, dalam setiap operasi meskipun SOP nya benar pakai masker tapi abai juga terhadap 'jarak' ini. Di desa lebih menarik lagi, massa berkumpul sambil mbakar sesuatu untuk mencegah dingin, minum kopi sambil berkelakarpun juga tanpa jarak,Â
Di kampungku anak-anak kecil juga nyaris tak berjarak tetap saja memutari kampung dengan bahagia, membangunkan orang-orang untuk sahur atau di Pasar Bunder Sragen ketika sore hari menjelang berbuka, nyaris tidak ada pembatasan jarak, pengawasan dll. Semuanya bebas bertemu, berdesak-desakan dst.
Semuanya sangat absurd, mereka membatasi, mempalangi jalan-jalan tapi mereka sendiri yang masih bertemu dan berkumpul.
Realitas kebosanan ini menjawab keresahan saya akan kapan segala sesuatunya akan dipuncaki. Celah kebosanan dirumah dan alter-ego untuk kembali berkumpul ini semacam tanda, bahwa bom waktu ledakan sebaran wabah ini akan terjadi secara drastis dan massif.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!