Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah: Krisis Percaya dan Bom Waktu Absurditas Jaga Jarak

25 April 2020   22:14 Diperbarui: 25 April 2020   22:44 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Babak baru datang, curiga harus ditumbali dengan naiknya angka tertular kematian-kematian, gong tanda dimulainya bulan puasa harus berdentang dengan totalitas untuk memuasai sesuatu lalu puncak-puncak kebosanan menuai akibat,  persebaran mulai menampakkan tanda-tanda.


KRISIS KEPERCAYAAN

Setelah Gereja Shincheoji di Korea Selatan, kini Itjima Ulawa di Kabupaten Gowa kembali menjadi sorotan negara-negara di Asia karena menjadi salah satu cluster persebaran virus Covid19 ini.

Penyebaran menjadi sporadis, ketika Gowa sudah menyatakan bahwa semua peserta Itjima Ulama sudah pulang. Justru mereka yang pulang ini menjadi ancaman, karena menyebar ke seluruh Indonesia bahkan negara-negara tetangga.

Tercatat 231 kasus pada 23 April 2020, mungkin akan terus bertambah secara sporadis. Di baru 2 orang dinyatakan positif, namun kemarin disusul dengan hasil rapid-test sebanyak 31 peserta Itjima Ulama Gowa positif covid19*.

Tidak bisa ditolak memang dalam setiap penanganan wabah akan selalu ada benturan antara sains dan spiritualis. Mereka juga punya massa dan dukungan tersendiri.

Tetapi untuk kasus virus ini akhirnya spiritualis yang "kemendhel" melanggar apa yang dikalkulasikan oleh sains harus mendapatkan resikonya, selain tertular juga sekaligus menjadi inang persebaran kedaerah-daerah asal mereka.

Jika ditarik kebelakang tentang benang merah dari banyak kejadian ini bisa diambil salah satu variabel pola. Ketidaksiapan kita dalam menghadapi wabah akhirnya berbuntut krisis. Krisis Kepercayaan. Berawal dari ketidakpercayaan akan kebenaran tentang virus itu sendiri, lalu kepada sikap otoritas negara yang setengah-setengah mewaspadai, tokoh-tokoh, organisasi sampai akhirnya menyentuh kalangan desa yang berisi rakyat kecil. Padahal kita semua tahu dalam krisis ini kunci kewaspadaannya terletak di kerjasama, transparan dan jujur mempercayai satu sama lain.

Tetapi akhirnya yang terjadi justru sebaliknya, tidak ada single-data yang mampu menunjukkan berapa angka manusia yang benar-benar tertular, berapa kematian yang dihasilkan juga berapa yang sembuh. Selalu ada selisih antara pemerintah pusat, BNPB, dan Pemda, baru akhir-akhir ini semua sepakat untuk satu pintu di BNPB.

Lantas tidak dibukanya data persebaran secara transparan juga menimbulkan efek samping, saling curiga dilapisan masyarakat, satu dengan yang lain saling mewaspadai. Sikap pemerintah ini memang akan simalakama dengan ketidaksiapan pemerintah dalam mensosialisasikan persebaran virus ke massa. Didesa-desa apalagi, nampak sulit untuk menjelaskan soal 'pagebluk' ini. Akhirnya silang sengkarut terus terjadi

Ketika memang tidak ada sumber yang kredibel untuk dipercayai maka tak ayal bahwa kemungkinan selanjutnya masyarakat kembali kepada 'apa yang mereka yakini'. Balutan spiritualisme, ramalan, jangka, petuah, cocokologi dan beragam teori konspirasi laku keras. Kemudian menjadi bias-bias informasi.

Tidak sedikit yang salah penanganan akhirnya malah berujung menjadi persebaran hebat. Contoh besar yang bisa diambil tentu adalah Gereja Shincheonji, Korsel. Ketika wabah malah mengumpulkan jemaat, diajak berdoa dan justru mempercepat penularan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun