Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah: Simalakama Pemudik, Gugur Gunung, Kelas Sosial

18 April 2020   17:16 Diperbarui: 18 April 2020   17:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puluhan ribu pemudik pulang ke kampung-kampung, membawa hidupnya dalam segala sesaknya. Ketika menaruhkan hidup di kota-kota besar yang sekarang merupakan zona merah harus tetiba menjadi sepi karena wabah. "Kalaupun mati aku ingin mati dirumah, ditanah makam cintaku" kata seseorang kepadaku.

Simalakama Pemudik
Jumat Agung, hari ini seluruh umat kristiani di dunia merayakan kisah sengsara Yesus di kayu salib. Hari ini pula seluruh dunia masih menanggung banyak sengsara, kesedihan, kesesakan, kebosanan sampai keputus-asaan karena wabah. Kejadian yang tak hanya menjadi teror yang didengungkan media, tetapi amarah akibatnya juga dirasakan semua pihak. Setelah kota-kota yang sudah menjadi 'merah' duluan, kini kota-kota lain menyusul kemunculan kasus-kasus Covid19. Dan rentetan peristiwa terus berlangsung.

Ketidakberanian pemerintah menanggung semua kebutuhan sesuai UU karantina, lalu lesunya geliat ekonomi di kota-kota besar yang jauh lebih dulu sudah merah. Pengkuncian wilayah-wilayah, sekolah libur, kantor libur, mengakibatkan efek serius kepada mereka yang menggantungkan rejeki dari rutinitas mereka yang terpaksa diliburkan. Seperti gayung bersambut dengan pelan-pelan mereka yang masih terjun dijalan karena memang tidak ada penjaminan dari pemerintah, juga ikut undur dari jalanan karena sepinya jualan, orderan, jasa, dan lain-lain hampir semua sektor lesu.

Mereka yang bertaruh rejeki di kota besar ini akhirnya memilih pulang ke rumah mereka masing-masing. Entah sebagai kerinduan karena sunyinya kota besar mulai terasa, atau memang sudah menyerah dengan kembali ke kampung halaman akan terkait dengan kondisi psikososial masyarakat kita yang ketika mengalami masa berat daya ingin kembali ke asal, berkumpul dengan handai-taulannya di kampung juga mengalami kenaikan termnya.

Tanggal 27 Maret 2020 seperti yang dilansir kompas.com)1 pemudik awal yang memasuki Jawa Tengah mencapai 60.000 lebih manusia, 27.000 lebih masuk ke Kabupaten Wonogiri)2, 13.500 memasuki Kabupaten Sragen)3. Perpindahan massa dari zona merah ini justru malah diimbangi himbauan untuk tidak mudik, harapan pemerintah mungkin benar untuk membatasi persebaran wabah, tetapi tidak dapat dikesampingkan secara aspek ekonomi jika mereka bertahan di kota besar tanpa mendapatkan penghasilan lebih hanya untuk bertahan saja, ya siapa yang bisa menghambat laju kepulangan mereka?

Sementara di tulisan sebelum ini aku sempat menyinggung tentang munculnya diktaktor lokal/otoritarian sipil yang berkembang secara reaktif ketika ada kasus baru.

Dan apa yang diperhitungkan terjadilah demikian, 2 orang kasus positif Covid19 di Sragen hari ini (14 April 2020), menimbulkan daya kejut yang signifikan bagi sebuah daerah yang tidak begitu terlalu was-was karena wabah. Setelah bocornya informasi detail korban melalui jarkom-jarkom WA, tanpa pengawasan yang lebih dan massa menunjukkan nature-nya. Lockdown lokal berlakuk, di Sragen hari ini. Perumahan dan kampung-kampung diseputaran kota adalah yang paling awal menutup gang-gang sempit mereka, dilanjut pula dengan penetapan status KLB di kabupaten itu, kemudian pemindahan jalur transportasi dari luar daerah yang melintas kabupaten ini.

Semua pihak bergegas operasi dijalan raya dan terminal untuk mengecek semua pemudik yang datang ke kabupaten juga terus dilakukan. Media sosial terus menerus mengirim banyak informasi, bahkan terkadang banyak yang tidak valid justru meningkatkan ketakutan dan kepanikan di kalangan masyarakat yang kurang mendapat informasi mengenai adanya virus ini.

Sementara pihak yang mengkonfirmasi juga kelelahan untuk mengingatkan satu-persatu. Memang akhirnya termasuk penerangan berita-berita hoax di media sosial ini adalah PR bersama semua elemen masyarakat, terutama yang lebih melek informasi untuk lebih berani saling mengingatkan bahwa selama pandemik harus berhati-hati terhadap segala informasi yang beredar. Atau alangkah baiknya menuju pada laman-laman resmi milik otoritas negara, supaya akurasi datanya jelas dan kredibel.

Kasus selanjutnya setelah drastisnya pemudik ini adalah penolakan di beberapa kampung yang terlalu reaktif, beberapa pemuda menjadi otoritarian sipil menolak semua pihak yang ingin masuk ke kampung mereka termasuk beberapa pemudik yang ingin pulang kerumah. Tanpa informasi bahwa karantina rumah bisa dilakukan selama 14 hari, justru malah gang-gang dipalang, di Jombang malah ada spanduk bertuliskan "kawasan wahing diantemi" (kawasan bersin boleh dipukuli), entah apakah ini mau sekedar lucu-lucuan atau serius, tapi respon terhadap pandemik ini melahirkan beragam slogan yang preventif. Sementara pemerintah lokal juga belum menyiapkan tempat karantina bersama, jadi kebimbangan menyelimuti baik pemudik maupun mereka yang dirumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun