Mohon tunggu...
Indra Agusta
Indra Agusta Mohon Tunggu... Wiraswasta - hologram-Nya Tuhan

Cantrik di Sekolah Warga, Suluk Surakartan dan Sraddha Sala

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wabah: Simalakama Pemudik, Gugur Gunung, Kelas Sosial

18 April 2020   17:16 Diperbarui: 18 April 2020   17:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Yang paling mencuat ke media adalah kasus DPR minta kekhususan untuk mereka dan keluarganya di rapidtest Covid19 yang kemudian di kritik oleh berbagai pihak)4, kontradiksi ini semakin menjadi ketika banyak tenaga kesehatan dokter dan perawat kita gugur di medan juang karena pandemik ini. Tugas mereka menjadi lebih berat, jam tidur mereka berkurang, serta kelelahan banyak menjadi faktor meninggalnya para pahlawan kesehatan ini. Lalu justru seenaknya wakil rakyat mengelitkan diri untuk meminta hak khusus.

Pertentangan sosial ini juga didiamkan oleh pemerintah pusat, Jokowi seperti menanti kemana angin berhembus, baru pada 24 Maret 2020 ketika mayoritas pihak sudah mengecam rapid test ini baru media mengumumkan bahwa beliau menolak tegas permohonan uji -- cepat ini. DPR untuk menutupi rasa malunya atas kecaman publik juga patungan sendiri akhirnya membeli alat uji ini. Namun persepsi masyarakat sudah terlanjur negatif tentang persoalan ini.

Di kota yang katanya "toleran" ini, kampus UKSW menggugat tunawisma yang mendiami bangunan tidak terpakai milik kampus)5. Padahal tunawisma juga terkena operasi pembersihan jalanan oleh Satpol PP. Sangat kompleks, dan lagi-lagi kaum pinggir ini yang terkena imbasnya, kampus mempertahankan status bangunannya yang harus bersih, sementara polisi pamong praja hanya menjalankan tugasnya sesuai arahan pemerintah pusat untuk mengosongkan jalanan, memaksa orang dirumah saja tetapi bagaimana dengan tunawisma?

Rumah mereka ini jalanan, apa definisi rumah? Ketika mereka mau berteduh sejenak ketika wabah dibangunan kosong yang mungkin bisa dijadikan hunian sementara, justru otoritas kampus malah mendepak dan mempermasalahkan mereka.

Di depan kampus ISI Solo penjual martabak keliling memakai sepeda, selain omsetnya menurun juga "kucing-kucingan" dengan Pol. PP karena himbauan ini. Ketika secara pribadi kutanya bapak ini memang menggantungkan hidupnya dari martabak. Jika tak laku ya entah dia sekeluarga makan apa, mungkin makan martabak yang tak laku tersebut. Pembatasan penjaja kaki lima di semua ruas di kota Solo juga berdampak signifikan, cafe, restoran, dan mereka yang kuat mengontrak mungkin bertahan tetapi mereka yang hidupnya 100% dijalanan sudah jatuh kemudian tertimpa tangga.

Konflik kelas yang lain tentu di dunia pendidikan. Diliburkannya sekolah, dan belajar online secara tidak langsung menimbulkan pertentangan kelas. Mereka yang secara finansial mapan, intelektualitas orang tua diatas rata-rata, punya koneksi internet dirumah dan tentu gawai yang mumpuni akan dengan senang hati melahap beragam bonus dari internet provider yang sudah bekerja sama dengan lembaga bimbingan online yang turut gugur gunung pula membantu proses kegiatan belajar mengajar dirumah. Tetapi tidak dengan masyarakat kelas bawah. 

Macam-macam problematikannya dari akses internet yang sulit dijangkau karena geografis, atau mahalnya paket data yang ada di daerahnya, belum keterbatasan gawai yang tentu disesuaikan pula dengan kemampuan ekonomi keluarga tidak semua gawai support dengan kebutuhan KBM. Belum soal kadar meleknya orang tua terhadap teknologi informasi, seperti bapakku dirumah guru SD yang hanya tahu aplikasi WA juga kebingungan dengan semua perangkat penunjang KBM online, meskipun secara perangkat mumpuni tetapi pengaplikasiannya sangat sulit. Parahnya lagi ada banyak anak-anak SD yang orangtuanya hanya buruh biasa, yang benar-benar gawainya adalah gawai klasik hanya bisa untuk SMS dan Telepon. Dari sini akhirnya beban guru-guru muda menjadi lebih berat karena harus menemani banyak murid agar berjalan lancar sesuai arahan yang didambakan oleh kemendikbud.

Konflik selanjutnya tentu adalah beda kelas intelektual, saking cepatnya media sosial, cepat pula menjalarnya informasi efeknya seperti yang dulu pernah terjadi adalah bias-bias. Tidak semua orang paham validasi informasi, tak semua orang mau mencari tahu kebenaran akan sebuah berita. Yang paling parah tak semua orang paham betapa pentingnya data dan privasi data yang korelasinya dengan gejolak massa yang sama-sama panik karena wabah.

Di jarkoman banyak sekali isu-isu menakutkan, padahal virus ini juga bukan untuk ditakuti asal semua sesuai prosedur kita bisa tetap aman. Bias data ini kedepannya juga akan kontra produktif terhadap penanganan geliat emosi massa, jika sewaktu-waktu kasusnya merebak semakin banyak, dan isu-isu hanya mencekam batin. Namun lagi-lagi ini memang PR panjang, negara kita memang selalu tidak siap, yang penting gawai laku, kesiapan menggunakan teknologi itu urusan nanti dan tentu resikonya adalah bias-bias, bahkan mal-fungsi teknologi.

Seperti membedakan "rapid test" dan "swab test" di kampungku saja masih bingung. Dikira kalo rapidtest hasilnya valid dan menakutkan banyak pihak, lantas baru satu kena positif rapid test saja riuhnya bukan main, apalagi menyoal penolakan jenazah kemarin semua karena efek bias informasi, ketakutan dimasyarat bertambah-tambah dengan kabar dikuburkannya seseorang yang kena virus di daerah mereka, dan ironisnya juga kabar seorang perawat yang meninggal dunia juga ditolak pemakamannya di Ungaran)*6. Perawat yang turut andil langsung dalam penanganan virus harus berhadapan dengan massa yang juga menunjukkan nature-nya. Akhirnya pertentangan terus terjadi di masyarakat bawah.

Beda kelas sosial menunjukkan perubahan signifikan pada respon mereka dalam menghadapi kasus-kasus kecil semasa pandemik. Kesenjangannya terasa, gap yang sangat jauh di berbagai level, dengan pola-pola perkembangannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun