Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Harmoni Malam Ini

24 November 2022   11:33 Diperbarui: 25 November 2022   21:05 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen Harmoni Malam Ini (Foto: By StockSnap Via Pixabay)

Barkah mengiris daun bawang, dan menaburkannya di atas mi yang tengah dimasak bersama telur. Kuah kental dicampur rajangan bawang putih halus, ditaburi bubuk udang kering. Ditambah potongan tipis tomat segar, cabai rawit, dan selada. Dan semangkuk mi tek-tek, siap disajikan. 

Harmoni, pukul dua dini hari. Pesta tak pernah usai di pusat Jakarta. Jalanan tergenang sehabis hujan. Mobil-mobil mewah keluar-masuk pub malam. Di belakang mal khusus elektronik, dua anggota ormas baru keluar dari panti pijat. Dan bunyi sirine terdengar sayup-sayup.

Di lapak mi tek-tek di seberang jalan, perempuan paruh baya bercengkrama dengan dua remaja tanggung. Mereka menyalakan rokok dan menyeruput teh hangat, setelah meletakkan mangkuk kosong ke dalam ember. 

Barkah, penjual mi tek-tek, sebenarnya berjualan keliling. Namun menjelang pukul sebelas malam, ia biasa mangkal di tempat ini. Di trotoar pusat perbelanjaan di bawah tiang listrik. Menjaring rejeki yang tersisa di ujung hari di ibu kota. 

Penjual mi tek-tek bak pahlawan bagi perut keroncongan. Pejuang lembur, penjaga malam, pengunjung dan pekerja tempat hiburan, adalah pelanggan setia. 

"Mie kuah porsi babon! Pedas!" Kevin berteriak-teriak memesan semangkuk mi. Pemabuk itu sempoyongan saat hendak mengambil bangku. Namun pembeli lain, sudah tak kaget dengan kehadirannya.

Kevin terbiasa muncul menjelang pukul tiga pagi. Di saat pub sudah hampir tutup, musik akan berhenti, berganti cekikikan rombongan perempuan malam yang keluar terhuyung-huyung. 

Tak disangka, pemabuk itu orang yang sukses dikata orang. Kevin pemilik usaha pertambangan. Di siang hari ia berkutat pada kalkulus, desain, dan rencana observasi mineral. Dan malam hari ia berkutat pada entertain, negosiasi, dan melobi pejabat-pejabat pemerintahan. 

Bila keluar dari pub, Ia tak pernah absen nongkrong di tempat Barkah. Menikmati semangkuk mi tek-tek menjadi semacam ritual untuknya. Ia pun percaya setelah makan mi pedas, mabuk akan berkurang dan badan kembali bugar. 

Kevin makan begitu lahap, mukanya merah dan berkeringat. Di sela-sela suapan ia berkata, "Kang Barkah, ajarin dong masak mi enak kayak gini! Kalau Akang libur jualan, saya bingung makan mi di mana?"

"Ya di rumah atuh, masakan istri jauh lebih enak," jawab Barkah dengan santainya. 

Kevin tak menjawab. Ia tak mau curhat di tepi jalan. Menikah baginya cuma hal yang merepotkan, toh ia bisa memuaskan hasrat pada perempuan mana pun yang dia pilih. Harta, tahta, dan koneksi mentereng ia punya. Bahkan hampir tiap malam, ia membakar uang di pub malam. 

"Kang, kamu jualan malam sampai pagi buta! Apa tak takut dicegat hantu?" Kevin mengalihkan pembicaraan. 

 "Orang hidup yang bahaya mah. Bisa malak, bisa mukul, bisa gigit. Terus bisa selingkuh lagi, nyakitin pokokna mah." 

Kevin tertawa keras, dalam benaknya sepakat pada jawaban polos Barkah. Ketakutan orang-orang, lebih condong pada sesuatu yang abstrak. Padahal, banyak hal-hal konkret yang mesti diwaspadai. 

Barkah menerima uang dari perempuan setengah baya yang terlihat cemberut. Namun ia tetap tersenyum. Ia pun melirik pada Kevin sambil berbisik, "Tapi saya punya cerita seram, lebih seram daripada istri saya kalau lagi dapet." 

Dahulu sebelum saya jualan di sini, ada tukang bakso yang mangkal di tempat ini. Baksonya enak, orang-orang ramai yang beli. Dia jualan sore, dan pulang malam. 

Suatu waktu, saat perjalanan pulang. Ia dibegal di daerah Glodok. Gerobaknya nyangkut di pinggiran anak Kali Ciliwung. Namun mayatnya tak pernah ditemukan. 

Konon sejak saat itu, orang-orang di sini sering melihat tukang bakso lewat, tetapi saat dipanggil ia menghilang. Kadang ia terlihat di lantai dua gedung parkiran. Dan kadang ia terlihat di dalam mal yang sudah tutup. 

Pernah suatu malam, saya mendengar bunyi tok...tok..tok, dan mencium aroma daun seledri menyengat. Tepat di sini, di tempat kamu duduk. Namun saat melihat kiri-kanan, tak ada orang. 

Karena penasaran saya berjalan ke depan Harmoni, tetapi tak ada tukang bakso yang lewat, saya pun kembali ke sini. Dan saat hendak pikul gerobak, tiba-tiba kepala saya kecipratan air, saya kira hujan. Tapi saat dicium, kok bau kuah bakso. 

Dan begitu saya mendongak, benar saja, ada gerobak bakso melayang-layang di atas tiang listrik ini. Dan tak pikir panjang, saya pun lari sekencang-kencangnya. 

Kevin dibuat merinding mendengar cerita Barkah. Terlebih malam ini malam Jumat. Mabuk benar-benar hilang. Semangkuk mie kuah pedas, teh hangat, dan cerita seram. Paket lengkap penawar mabuk dan kesepian. 

**

Seminggu lamanya Kevin pergi ke luar kota. Mengurus bisnis tambang di wilayah timur yang menjanjikan. Ia memilih mengejar cuan, ketimbang menjenguk bapaknya yang sakit keras. Meski sanak saudara sudah berkali-kali memintanya pulang. 

Kevin bergeming, ia kukuh pada pendirian. Bergelas-gelas whiskey ditenggak untuk menenangkan pikiran. Dan walaupun tak ada kerinduan. Namun ternyata, hubungan darah lebih kental daripada kuah mi tek-tek, dan melekat kuat sampai akhir hayat. 

Tek...Tek...Tek... 

Dan aroma daun bawang yang ditabur di atas kuah mi mengalihkan lamunan. Dalam mabuknya ia melihat Barkah. Memikul gerobak, berjalan pelan di bawah temaram lampu jalanan. 

Kevin yang mabuk berat tak sanggup lagi berteriak. Ia hanya melambaikan tangan untuk memanggil Barkah. Hingga gerobak pikul Barkah diletakkan, Kevin hanya dapat mengacungkan satu jari. 

Namun Barkah terdiam. Mematung dengan wajah pucat di depan gerobak pikul yang tampak berantakan. Dan membiarkan Kevin tertidur lemas dalam mabuknya.

Malam berikutnya, Kevin duduk sendiri di sudut ruangan. Musik menggema, tetapi terdengar seperti dengungan belaka. Ia gagal enjoy. Kabar sang bapak yang sakit keras di kampung, kian mengganggu. 

Bapak yang tega menelantarkan, dan membiarkannya menderita dalam asuhan orang lain. Bahkan ketika dewasa, ia tak diakui sebagai anak. Dan tak jarang dihinakan dengan umpatan haram jadah.

Dendam belum surut, meskipun peristiwa itu telah lama berlalu. Trauma masih membekas. Ia belum pernah merasakan kehangatan keluarga, selain dari cerita orang belaka. 

Pukul satu dini hari, ia pun memutuskan keluar pub. Menghirup udara malam, dan ingin menikmati semangkuk mi. Namun ia tak melihat Barkah di seberang jalan.

Kevin menyesal, kemarin malam mabuk berat sampai terkapar. Dan tak sempat menikmati mi tek-tek seperti biasa. Maka malam ini, ia menunggu lebih awal. Namun Barkah dan gerobak pikulnya tak kunjung terlihat. 

Kevin lalu bertanya pada penjaga malam bernama Wito,"Bang, Kang Barkah belum datang?"

"Nggak tahu," jawab Wito sembari menggeleng. Ia mengira Kevin tengah mabuk dan sembarang bicara.

Kevin merogoh kantong dan mengambil sebatang rokok. Namun belum sempat ia menyalakannya, Bela, terapis di panti pijat sebelah pub, tiba-tiba melintas. Ia melirik ke arah Kevin dan bertanya,"Lagi nunggu siapa nih, Om?"

"Kang Barkah," jawabnya ketus. 

"Woy Om, dia tak akan datang," timpal Bela. 

"Sok tahu," ujar Kevin sembari membakar rokoknya. 

"Eh, memangnya Om belum tahu?" Bela yang hendak pulang pun tertahan langkah untuk sekadar bercerita. 

"Minggu lalu, Kang Barkah tewas ditabrak sedan yang baru keluar parkiran, Om. Koh David temen Om tuh, sudah tahu mabuk tapi masih maksa nyetir!" 

"Kamu bercanda? Kemarin malam Kang Barkah masih jualan di situ," ujar Kevin, sembari menunjuk ke seberang jalan. 

"Om, kamu mabuk!" Ucap Bela, seraya menepuk-nepuk pundak Kevin dan pergi meninggalkannya. 

Kevin masih terpaku, memandang ke tempat biasa Barkah berjualan. Namun tiba-tiba mata merahnya terbelalak, urat leher menegang, dan lulutnya lemas. 

Bulu kuduknya pun langsung berdiri, kala melihat pecahan mangkuk yang tercecer di tepi jalan, bergerak-gerak sendiri. Tak ada angin, tak ada hujan. Dan bunyi tek-tek-tek sayup terdengar dari kejauhan. 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun