Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kembang Gula

10 November 2022   10:11 Diperbarui: 13 November 2022   21:45 1092
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua pekan lalu, Suri datang ke rumahku. Ia mengembalikan barang-barang pemberian dariku. Kalung emas, cincin perak, kebaya merah, dan piringan hitam orkes keroncong Lief Java. Namun ada hal yang tak dapat ia kembalikan; waktu, kata-kata manja, dan kembang gula. 

Dua bulan sebelum Dai Nippon tiba di Batavia dan mengubah nama kota ini menjadi Djakarta, perang berkecamuk di mana-mana. 

Keluarga Suri hanya tersisa ibunda seorang. Dan bapaknya, serdadu KNIL yang ikut menjaga sumur minyak di Tarakan, tewas di hari pertama Nippon menyerang Hindia-Belanda. 

Dan sejak saat itu, Suri harus menafkahi keluarganya. Bergabung dengan orkes keroncong Arum Manis. Bernyanyi dari kampung ke kampung, dari kota ke kota. Dari pasar malam ke gedung pertunjukan.

Pada pentas keroncong di daerah Gambir, untuk pertama kalinya aku melihat Suri. Biduan cantik berkebaya, menyanyi sambil bermain ukulele. Paras bak bidadari, suara memikat. Menyihir jiwa-jiwa lara yang dahaga akan hiburan. 

Di bawah panggung, kulihat ia dari dekat. Kharisma saat bernyanyi, hilang seketika. Kesan lemah lembut dan anggun, berganti sosok perempuan muda yang tegas dan pemberani. 

"Kamu paham kan, Bung? Bung Karno berjuang dengan diplomasi, Bung Kecil berjuang dengan argumentasi! Dan kita sebagai seniman, harus berjuang dengan musik, lukisan atau puisi!" 

Dalam obrolan singkat, Suri tak segan berbicara lantang soal nasionalisme, dan juga penindasan Nippon terhadap kaum jelata. 

Dan sungguh, gaya bicara serta bahasa tubuhnya membuatku terkagum-kagum. Berbeda dengan kebanyakan perempuan yang kukenal, Suri memberi warna lain dalam hidupku. Kata-kata yang keluar dari bibirnya bak manifestasi artikel-artikel Rohana Kudus dan SK Trimurti. 

Dengan bantuan Pablo, pemimpin orkes Arum Manis, malam itu aku berkesempatan berbincang dengan Suri. Mengenalnya lebih dekat dan membuat janji. Memang tak mudah. Namun setelah ia tahu pekerjaanku, Suri terlihat melunak. 

Ia membutuhkan bantuanku, sekadar berlindung dari serdadu Dai Nippon yang mengincarnya untuk dijadikan Jugun Ianfu. Karena seorang perwira Jepang yang selama dua tahun menjaganya, telah tewas dalam pertempuran di Indochina bulan Maret lalu. 

"Kau benci Nippon, tetapi kenapa kau mau berhubungan dengan Daisuke San?" tanyaku penasaran. 

"Bukan hanya benci, tetapi dendam, Bung. Kau tahu, bapak dan kekasihku tewas oleh mereka. Namun Daisuke itu pengecualian," jawabnya. 

Pertanyaanku membuka kembali peristiwa pahit yang dialami Suri. Kekasihnya dahulu seorang pemain bass betot di orkes Arum Manis bernama Safei. Mereka berencana menikah, bila Jepang menepati janji untuk memberikan kemerdekaan dua tahun lalu. 

Kala itu mereka diundang pentas di barak militer Jepang. Suri yang baru saja selesai tampil, ditarik beberapa serdadu mabuk ke belakang panggung. Beruntung Safei tiba tepat waktu. Meski kewalahan, ia mampu menghajar lima serdadu sekaligus. 

Namun nahas, seorang serdadu yang tergeletak dipukul Safei, meraih senapan dan menusukkan bayonet dari belakang. Safei tumbang, darah segar terus mengalir dari pinggangnya. Ia pun tewas, tanpa sempat mendapat pertolongan. 

Dua bulan lamanya, Suri mengurung diri di dalam kamar. Dan seorang perwira Jepang bernama Daisuke rutin berkunjung. Ia begitu gigih meminta maaf dan menjamin, serdadu yang membunuh Safei mendapat hukuman setimpal. 

Hingga suatu hari, Daisuke datang membawa surat kabar Asia Raja. Ia menunjukkan berita tentang pembunuh Safei. Serdadu itu ditemukan harakiri sebelum persidangan militer digelar. Dan Suri pun mulai beranjak dari kepedihan. 

Hari demi hari, cerita demi cerita. Suri tak pernah lupa mengenang tentang Daisuke dan Safei. Meski lambat-laun ia harus merelakan kepergian mereka. 

Dan saat ini ada aku, yang ia percaya sebagai tempat bersandar. Meski pun tanpa hubungan yang jelas. Kami tak pernah membahas itu, aku hanya mau memberi, dan Suri hanya tahu menemani. 

Kami melewati masa-masa sulit dan bahagia. Berteriak kegirangan saat mendengar teks proklamasi selesai dibacakan. Mengibarkan bendera merah putih, meski pun harus dikejar serdadu Nippon. Dan berselimut ketegangan kala berdesak-desakkan di lapangan Ikada. 

Suri bertanya, saat mengambil kembang gula yang kuberikan,"Said, kenapa kau dipanggil dengan nama itu? Bukankah namamu Sardi?"

"Dulu sewaktu aku bekerja di kapal dagang di Singapura, orang-orang Tionghoa mengira aku orang Arab, dan mereka salah melafalkan namaku," jawabku. 

"Lantas, kenapa kau bisa jadi penyelundup?" lanjutnya, sembari asyik menikmati kembang gula. 

"Hus, sebut saja pengusaha. Toh saat ini aku pun ikut berjuang, bukan," jawabku, seraya mencubit secuil kembang gula dari ujung bibir tipisnya.

Di bawah lembayung senja Jakarta, kami melanjutkan kebersamaan. Di dalam becak, kami melintasi kawasan Pancoran yang sepi. 

Para pemuda terlihat merobek poster"Kemenangan Nippon Jang Gilang Goemilang," di depan restoran yang telah lama tutup, lalu mereka mencoret tembok dengan tulisan "We Are Free Nation!"

Suri menahan tawa, dan melirik kepadaku. Kami teringat masa-masa di mana Nippon sangat berkuasa. Kami pernah menculik serdadu yang mabuk berat, sehabis pertunjukan. Dan besoknya, segerombol Kempetai menemukannya tengah meraung-raung dengan tangan terikat di dalam gudang. 

Dan tawa Suri akhirnya pecah, kala melihat seorang bocah gundul yang berlari sambil menangis di pinggir jalan. 

Kami tiba-tiba teringat peristiwa, saat seorang pegawai Sendenbu bernama Saito, dipukuli warga kampung sampai lari terbirit-birit, karena mencoba membubarkan layar tancap sendirian.   

Dua bulan berlalu setelah perjalananku di Malaysia. Bisnis barang mewah berganti bisnis penyelundupan senjata dari Johor. Usahaku semakin mudah, karena tentara republik sudah punya armada sendiri di Selat Malaka.

Di pagi yang dingin, kupacu Buick 1940 dari Marunda ke Kwitang. Tiba-tiba aku teringat akan Suri, dan berbelok ke arah Gambir untuk mencarinya. 

Namun orkes keroncong Arum Manis tidak tampil hari itu. Dan aku pun pergi ke rumahnya, tetapi rumahnya sudah kosong melompong. 

Hari itu juga, aku melaju ke arah Depok. Dan bermaksud menemui Pablo untuk bertanya, di mana Suri berada. Namun ternyata sia-sia. Rumah Pablo sudah hancur luluh lantak. 

Bocah penjual daun jati yang kutemui bercerita, bagaimana kengerian yang menimpa para Mardijkers. Diserang dan diburu. Dan tak tahu kemana pergi. 

Dua bulan berlalu, begitu banyak peristiwa. Masa Bersiap menelan korban jiwa. Perang Ideologi sesama anak bangsa, gesekan kepentingan, kekuasaan, dan kengerian pun merajalela. Hanya ada dua pilihan; hilang nyawa percuma atau berjuang untuk republik tercinta. 

Berhari-hari aku mencari, tetapi tak dapat kutemukan Suri. Keadaan semakin genting. Perlawanan, kerusuhan dan pembunuhan di mana-mana. Bila bukan patroli Gurkha, maka komplotan perampok sadis yang akan menghadang. Sungguh, perjuangan terasa sulit untuk republik yang belum seumur jagung. 

"Suri, di mana kau berada?" Kuhisap cerutu yang tersisa. Dan memasrahkan jalan cerita hari esok kepada Tuhan. 

Suri akhirnya datang. Namun dengan wajah muram. Di malam sebelum aku membaca surat kabar, tentang peristiwa pembunuhan tentara sekutu di stasiun Senen, dan tertembaknya pimpinan Sekutu bernama Jenderal Mallaby di Surabaya.

Kukira Suri datang untuk menuntaskan kerinduanku. Namun ternyata tidak. Ia malah menyampaikan pesan perpisahan dan kata-kata penuh luka. 

"Said, aku tak ingin berbohong lagi padamu! Ketakutanku saat ini, hanyalah terlalu jauh mencintaimu! Dan aku tak mau melakukan itu!" Tegas ia berkata. Namun ia tak mampu menahan air mata. 

"Kenapa, apa yang salah?" Kuhapus air mata Suri dan menggenggam tangannya. 

"Kita tak bisa bersama, Said. Aku sudah punya janji. Dan kau, sudah punya istri di Melaka!" 

Dan aku pun terdiam, membeku seolah waktu tak berlaku. Melepas genggaman dan berdiri membelakangi Suri. Aku tak mampu lagi menatap raut wajahnya yang penuh kesedihan. Kebohonganku telah terbongkar. 

Dan di malam itu pula baru aku tahu, Suri pun sudah berbohong soal hubungannya dengan Safei. Ia telah lama mengikat janji, dengan kakak lelaki Safei bernama Wahid, pejuang republik yang melarikan diri ke Australia. 

Namun aku tak tahu, jika kedatangannya adalah untuk yang terakhir kali. Bila tahu saat itu Suri tengah dikejar oleh tentara, karena membunuh seorang perwira AFNEI dan mencuri dokumen rahasia mereka, tentu aku takkan melepaskan genggaman tangannya dan membiarkan ia pergi.

Hingga kabar berhembus, Suri tewas dihabisi intelejen NEFIS setelah tertangkap di Cirebon kemarin malam. Namun ada juga yang bilang, ia terlihat menyambut seorang lelaki di depan kapal Esperance Bay di pelabuhan Semarang. 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun