Ia membutuhkan bantuanku, sekadar berlindung dari serdadu Dai Nippon yang mengincarnya untuk dijadikan Jugun Ianfu. Karena seorang perwira Jepang yang selama dua tahun menjaganya, telah tewas dalam pertempuran di Indochina bulan Maret lalu.Â
"Kau benci Nippon, tetapi kenapa kau mau berhubungan dengan Daisuke San?" tanyaku penasaran.Â
"Bukan hanya benci, tetapi dendam, Bung. Kau tahu, bapak dan kekasihku tewas oleh mereka. Namun Daisuke itu pengecualian," jawabnya.Â
Pertanyaanku membuka kembali peristiwa pahit yang dialami Suri. Kekasihnya dahulu seorang pemain bass betot di orkes Arum Manis bernama Safei. Mereka berencana menikah, bila Jepang menepati janji untuk memberikan kemerdekaan dua tahun lalu.Â
Kala itu mereka diundang pentas di barak militer Jepang. Suri yang baru saja selesai tampil, ditarik beberapa serdadu mabuk ke belakang panggung. Beruntung Safei tiba tepat waktu. Meski kewalahan, ia mampu menghajar lima serdadu sekaligus.Â
Namun nahas, seorang serdadu yang tergeletak dipukul Safei, meraih senapan dan menusukkan bayonet dari belakang. Safei tumbang, darah segar terus mengalir dari pinggangnya. Ia pun tewas, tanpa sempat mendapat pertolongan.Â
Dua bulan lamanya, Suri mengurung diri di dalam kamar. Dan seorang perwira Jepang bernama Daisuke rutin berkunjung. Ia begitu gigih meminta maaf dan menjamin, serdadu yang membunuh Safei mendapat hukuman setimpal.Â
Hingga suatu hari, Daisuke datang membawa surat kabar Asia Raja. Ia menunjukkan berita tentang pembunuh Safei. Serdadu itu ditemukan harakiri sebelum persidangan militer digelar. Dan Suri pun mulai beranjak dari kepedihan.Â
Hari demi hari, cerita demi cerita. Suri tak pernah lupa mengenang tentang Daisuke dan Safei. Meski lambat-laun ia harus merelakan kepergian mereka.Â
Dan saat ini ada aku, yang ia percaya sebagai tempat bersandar. Meski pun tanpa hubungan yang jelas. Kami tak pernah membahas itu, aku hanya mau memberi, dan Suri hanya tahu menemani.Â
Kami melewati masa-masa sulit dan bahagia. Berteriak kegirangan saat mendengar teks proklamasi selesai dibacakan. Mengibarkan bendera merah putih, meski pun harus dikejar serdadu Nippon. Dan berselimut ketegangan kala berdesak-desakkan di lapangan Ikada.Â