Bocah lelaki itu sontak terperanjat dari pembaringan. Senyum mengembang, matanya berbinar. Ia tergesa-gesa menghampiri Mbok Jum yang tengah menyiapkan makanan. Rasa lapar yang mendera seharian, akan terbayarkan.
Do'a dilantunkan secepat kilat, si bocah terlihat tak sabar untuk memulai suapan pertama di hari itu. Belum lewat tengah malam, perut kecilnya beruntung dapat menikmati seporsi nasi goreng yang masih hangat. "Enak banget, Mbok," seru sang bocah tak berhenti mengunyah.Â
Mbok Jum terpaku menatap cucunya makan begitu lahap. Mungkin tak ada kata-kata maaf yang terucap, karena membiarkan sang cucu merasakan lapar seharian. Namun baginya, bergerak jauh lebih baik daripada diam meratapi nasib.Â
Dan tanpa aba-aba, air mata Mbok Jum mulai menetes. Haru. Dalam benaknya menerka, apakah kenikmatan nasi goreng yang ia bawa disebabkan perut kecil cucunya yang lapar, ataukah karena makanan itu dimasak oleh ibu kandungnya sendiri?
***
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.Â
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H