Malam dingin. Di rumah makan di tepi jalan, Maya terlihat murung. Matanya menatap tulang-tulang ayam yang ia taruh di bawah meja. Namun kucing putih yang bermanja di kaki perempuan itu, tak menyentuhnya sama sekali.Â
"Apakah kamu tak lapar, Pus?"Â
Di seberang rumah makan, bocah lelaki berbaju lusuh menatap cemburu. Belum lama ia bernyanyi di depan Maya. Namun hanya dibayar telapak tangan.
"Kucing itu terbiasa makan enak, mana mau dikasih tulang ayam," ucapnya lirih, sembari memegang perut imutnya dan melangkah pergi.Â
Roni, pemilik rumah makan menghampiri Maya. Ia mengambil kucing putih, mengelus dan memasukannya ke dalam pet carrier berwarna biru muda. "Kau tahu, kucing ini sangat manja."Â
"Peliharaanmu, Bang Roni?" tanya Maya.Â
"Investasi," jawab Roni sambil tersenyum.Â
Malam itu, pelanggan yang datang tak begitu ramai. Di hari pertama Maya bekerja, di rumah makan milik Roni. Lembaran baru kehidupan ditulis ulang. Tak banyak kesempatan, selepas bebas dari penjara. Dan uluran tangan Roni sangatlah berharga.Â
Maya telah membayar kesalahan masa lalu di balik jeruji besi. Namun banyak hal yang ia sesali. Vonis delapan tahun masa tahanan, merenggut seluruh kebahagiaan dalam hidupnya.Â
"Beli nasi goreng, Mas Roni. Dibungkus," seorang nenek menurunkan karung berisi botol plastik dari punggungnya. Dengan tangan gemetar menyodorkan lembaran uang lecek kepada Roni.Â