Mengendap-endap kuambil ikan asin di dapur. Memberikannya pada kucing hitam yang kusekap di garasi. Dan malam setelah istriku tidur. Nancy kupertemukan paksa dengan si kucing hitam.Â
Menjelang pagi, istriku terbangun. Ia bilang, mendengar suara kucing menggeram dan berkelahi. Mayang tergesa-gesa menyalakan lampu, dan berteriak, "Nancy!"
Namun buru-buru kumatikan lampu, memeluk dan menenangkan. "Tenanglah Sayang, itu suara kucing liar di luar pagar."Â
Dua hari setelah peristiwa itu, Nancy menghilang. Dan setiap sore sepulang kerja, aku dan istriku rutin menyusuri komplek untuk mencari Nancy. Namun hasilnya nihil.Â
Dua bulan berlalu, Mayang benar-benar membuat laporan ke polisi. Kehilangan Nancy tak kusangka membuatnya begitu terpukul. Dan aku sama sekali tak menyangka, begitu besar kasih sayang Mayang kepada seekor kucing.Â
Terkadang ia menangis sembari membersihkan wadah makan kucing. Bersimpuh, meratap, dan termenung, layaknya anak gadis yang baru pertama kali patah hati.Â
Di meja kantor, kulihat foto pernikahan kami. Mayang masih ramping. Kecantikannya tak luntur dimakan lemak. Hidup kami bahagia saat itu. Dan tentunya, tak ada Nancy di antara kami.Â
Namun satu ada hal yang terlupa. "Nancy, dari mana dia berasal. Dan kenapa kucing itu ada di antara kami?"
**
Mayang selesai membuat lemon tea. Di senja yang dingin seusai hujan. Hening. Harum petrichor. Dan jemarinya sesekali memeriksa pesan masuk pada telepon genggam. Berharap menerima kabar baik tentang Nancy.Â
Ia meletakkan telepon genggam, mengambil album pernikahan di kolong meja. Berdebu. Membuka kembali senyuman, dan kebahagiaan. Delapan tahun yang lalu, rangkaian kisah cinta dituntaskan ikatan suci.Â