Kata orang tua zaman dulu, apabila kita mengeluh, keluhan itu justru bertambah. Bukankah lebih baik mensyukuri apa yang kita punya. Meski seringkali kita mendengar, orang-orang mengumpat,"Sukurin!"Â
Pukul tiga dini hari, Kasiman terperanjat. Ia terbangun dari tidurnya. Tubuhnya gemetar. Keringat dingin mengucur deras. Nafas memburu, bak pelari maraton di garis finis. Namun tatapannya hampa.Â
Dua malam berturut-turut, ia bermimpi didatangi mendiang istrinya. Meski telah memenuhi pesan terakhir almarhumah. Namun teror berupa mimpi, dan bisikan gaib terus menghantui.Â
Di pagi hari, Kasiman terkulai lemas. Ia tak dapat memejamkan mata merahnya. Bibir komat-kamit, meracau, dan merapal do'a. Namun pikirannya terbang entah kemana.Â
Aku sudah berhenti berjudi, dan aku juga sudah berhenti mabuk-mabukan, Tumini!
Teriakan Kasiman menggetarkan dinding kamar yang kusam. Meledak-ledak, lalu tiba-tiba hening. Hal itu, mengangetkan siapapun yang melintas di depan rumah.Â
Namun para tetangga sudah mafhum. Mereka paham, Kasiman belum sanggup beranjak dari kesedihan, dan penyesalan, akibat kehilangan istri tercinta. Meski pun peristiwa itu telah lama berlalu. Â
Nasib miris yang dialami Kasiman, pada awalnya dipandang sebagai azab. Kegemaran berjudi, mabuk-mabukan, dan main perempuan, bermuara pada kekerasan dalam rumah tangga.Â
Hal itu sudah menjadi pemandangan biasa, saat para tetangga melerai pertengkaran mereka. Pemicu sepele soal masakan, uang dapur, dan pulang malam. Hingga persoalan momongan yang belum hadir, menjadi duri dalam daging.Â
"Tumini! Maafkan aku!" Tangis Kasiman pecah.Â
Hingga seutas sinar menerobos dari langit-langit di kamar berdebu, kotor, dan berantakan. Kasiman pun sekuat tenaga membebaskan diri dari ranjang reyot yang tak berhenti berdecit.Â