"Kasiman itu anakku, Karso!" jawab Mbok Kantin sambil menangis tersedu-sedu.Â
Laju senja tak dapat ditahan. Iring-iringan truk keluar dari pelabuhan. Para kuli angkut berjalan lemas keluar gerbang. Dan Karso terlihat murung di keramaian.Â
Dalam benak, Karso berpikir tentang Kasiman. Tangis dan cerita Mbok Kantin, mengingatkan pada istrinya. Kadangkala ia protes, bila nasi terlalu lembek dimasak di rumah.Â
Dan soal keturunan, mereka belum genap dua tahun menikah, itu pun tidak menjadi masalah. Karso pun sadar, mereka berdua menikah di usia tua. "Aku harus banyak bersyukur!"
Begitu tiba di rumah, Karso mencari-cari istrinya. Meletakkan ransel kusam di balai bambu. Dan membuka sepatu penuh jahitan di depan pintu.Â
Ia memandang haru punggung sang istri di dapur. Masakan hampir siap. Karso tanpa basa-basi langsung memeluk dari belakang.Â
Ia mencium rambut istrinya yang bau asap, dan berkata, "Sini, biar kugantikan kamu masak. Mandi sana. Nanti kususul ke kamar mandi."Â
"Mas Karso, tumben kayak gini?"
"Tumini, aku tak mau kehilanganmu," ucap Karso, seraya melonggarkan pelukannya.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.