"Riani, lelucon soal jomblo sudah tak lucu."Â
"Jangan berkilah. Kau tahu maksudku!" Riani memaksakan bicara, meski mulutnya masih penuh. Ia selalu bisa membuatku tertawa.Â
"Masih kurang panjang, daftar nama-nama mantanmu? Rio, Dave, Rizal, Kosasih, dan kau ingin ada namaku, begitu?"Â
"Demi Tuhan, Kosasih bukan mantanku!"Â
Bantahan keras Riani memecah kesunyian. Barista menahan tawa di balik meja. Di luar sana, deru hujan berganti bunyi klakson bersahutan. Jakarta tetaplah Jakarta.Â
Aku tahu arah pembicaraan ini. Riani tak pernah berhenti bertanya, apakah aku mau menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih dengannya.Â
Kuterka perasaan itu hanya penasaran yang mengakar. Dan akan tercerabut, setelah semua diwujudkan. Basi.
"Riani, bisakah kau berhenti terobsesi denganku?" Kupincingkan mata, agar terkesan serius.Â
"Oh ya, bisakah kau berhenti terobsesi dengan Dyah?" Membolak-balik pertanyaan memang keahlian Riani sejak lama. Dan kali ini, ia berhasil membuatku terdiam.Â
"Dengarkan Hans, sejak kita putus sewaktu SMP dahulu..."Â
"Riani, itu cinta monyet!"Â