Kita biasa bersepeda di bawah langit sore. Melaju, berkejaran, dan tertawa sampai lemas. Merengkuh kemesraan sembari menikmati senja. Dan saat malam tiba, kita menerka nama-nama rasi bintang di atas dermaga.Â
"Aku selalu percaya, cinta sejati takkan terpisahkan, Hans." Kata-kata dari bibir merah jambu itu seperti candu. Dan kini, kugenggam erat menjadi seikat janji.Â
Dunia hitam-putih di hidupku. Hingga kau hadir memberi warna. Dapat kurasakan jingga saat kau tersenyum. Dan biru saat kau menangis.Â
Dyah, dahulu kita saling menopang. Dan saat ini, kau pergi menghilang. Namamu, selalu ada di setiap rintisan masa. "Ah, sampai kapan aku harus berbicara pada diriku sendiri, seolah berbicara padamu?" Â
"Espresso one shot?"Â
"Ya!"Â
Pesanan tiba, membuyarkan lamunanku tentang Dyah. Entahlah, kenangan itu selalu singgah di sela waktu. Dan berlalu. Kadang terlupakan, seakan kisah-kisah indah hanya khayalan.Â
Kata orang, bila kita terbiasa menelan rasa pahit, maka manisnya kehidupan orang lain takkan membuat kita tergoda.Â
Dan dalam seteguk espreso, aku belajar menikmati perasaan apapun yang timbul, meski kepahitan hidup sekalipun. Ekspres. Tanpa penyesalan.
"Maaf membuatmu menunggu, Hans."Â