Gadis kecil menari di bawah hujan. Dibelai desir angin. Didendangkan gemericik dan gemuruh. Menabuh nada riang dalam hati. Segaris senyum menutup tawa, dan secuil kata-kata yang tersimpan di dalam dada.Â
Keresahan luruh ke bumi. Mengalir menuju selokan mampet di ujung jalan. Baginya, hujan penawar segala resah. Tak ada selimut di kasur empuk, atau segelas susu hangat dan belaian manja.Â
Ia terbiasa mengarungi kehidupan keras di bawah terik mentari. Dihempas dari kasih sayang orang tua. Hilang dari pandangan orang-orang berada.Â
Di usia dini, hidupnya berteman perih. Hardikan, omelan dan caci-maki, hanyalah angin lalu. Di jalanan, setan dan malaikat cuma numpang lewat.Â
Hujan berhenti, gadis kecil terlihat kecewa. Ia berbaring di atas trotoar yang telah lama beralih fungsi menjadi lapak-lapak barang bekas. Menggigil kedinginan.Â
Hingga tangan kecilnya menyusuri tumpukan baju-baju bekas. Memilih dan memilah pakaian ganti di balik terpal. Diburu waktu, ia harus bergegas. Sebelum lelaki tua yang tertidur pulas di samping lapak terbangun.Â
Gadis kecil berlari. Percikan-percikan air  membentangkan pelangi, di setiap langkahnya menapaki genangan sisa hujan. Dan terhenti di depan bedeng kusam di belakang pasar loak.Â
"Makan yang banyak, Gemala. Orang susah tak boleh sakit!"Â Mbok Jum berkata, seraya menghidangkan semangkuk mie rebus di atas meja.Â
Ditatapnya paras Gemala. Gadis kecil yang mengingatkannya untuk selalu bersyukur. Hidup untuk hari ini. Besok apa terjadi. Tetap harus dijalani. Kebahagiaan atau sakit. Semuanya ditentukan oleh hati kita sendiri.Â
Ia mengusap kepala sang gadis yang masih basah. Dan kembali menyeduh air untuk membuat teh tubruk. Dua gulung kertas koran dan botol plastik, digunakan sebagai pengganti kayu bakar.Â
Dua puluh tahun lalu, Mbok Jum memulai usaha kedai nasi di lokasi pembangunan kawasan industri. Diboyong ke kota oleh mendiang suaminya yang bekerja sebagai kuli bongkar muat di proyek pemerintah.Â
Kala itu ia datang dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik daripada di desa. Menjual segala yang dipunya untuk modal usaha. Pertaruhan yang mahal. Manisnya tak lagi terasa. Kini pahitnya tersisa.Â
Lima tahun berjalan, dan setelahnya dihentikan. Dua gedung roboh, dan banyak pekerja yang celaka. Termasuk mendiang suami Mbok Jum. Meski uang duka, tak pernah ia terima. Hanya satu jawaban yang didapatkan. Uang duka urung cair, karena pemilik usaha keburu masuk penjara.Â
Dana tersendat dan proyek terbengkalai. Desas-desus berhembus, pembangunan dihentikan karena uang proyek banyak yang dikorupsi. Entah oleh siapa.Â
Tak ada yang tertinggal dari proyek mangkrak tersebut, selain cerita dan fisik bangunan setengah jadi. Bobin kayu bekas gulungan kabel, digunakan sebagai meja. Potongan kayu dan seng, dibuat menjadi bedeng.Â
Bangunan semi permanen yang Mbok Jum sebut sebagai rumah, sekaligus tempat usaha yang penuh tumpukan sampah. Kedai nasi tinggal cerita. Kini, berkarung-karung botol plastik, menanti diantar ke pengepul. Dan satu dus mie instan, adalah harta yang tersisa.Â
"Kelak bila kamu sudah besar dan punya uang banyak, kamu harus bayar baju bekas itu pada Mas Sigit."Â
"Aku tak mau jadi besar, Mbok."Â
"Ngawur!" Mbok Jum terheran-heran pada jawaban Gemala. Ia menuangkan teh dari cangkir seng ke dalam gelas plastik.Â
"Malam ini, tidur di sini saja. Nanti kamu dipukul bapakmu, bila dia tahu payungmu hilang."Â
Gemala merebahkan tubuhnya di atas balai bambu beralas kardus. Menutup mata dan membuka angan. Tersenyum. Mengingat kesenangan terakhir di bawah hujan.Â
"Aku mau bermimpi indah." Iapun terlelap, dibelai semilir angin. Dininabobokan decit lirih, dari atap seng yang bolong dimakan karat. Â
Dunia hitam-putih di matanya. Tak ada yang dirisaukan, selain uang receh yang harus dibawa pulang untuk bapak. Masa kecil yang penuh ketidakberuntungan.Â
Bermain atau bekerja apa bedanya? Menjual tisu, koran, mengumpulkan kemasan air mineral, ojek payung dan meminta-minta. Dipaksa dan terbiasa.Â
Lelap. Hitam dan pekat. Gemala mengisi mimpi-mimpi tanpa harap. Tenang. Jiwa kecilnya butuh istirahat.Â
Mimpi apa yang diharapkan dari seorang anak yang bernasib buruk sejak dalam kandungan. Barang-barang mahal atau liburan ke luar negeri? Makan tiga kali sehari saja sudah mewah.Â
Mbok Jum tergesa-gesa membangunkan Gemala. Pagi hari belum tiba. Namun langit menyala berwarna merah. Api berkobar-kobar membakar pemukiman di seberang sana.
Hembusan angin membawa kepulan asap hitam menari-nari. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Panik. Berteriak-teriak, "Kebakaran!"Â
"Kamu ikut Mbok. Cepat atau lambat, api itu akan menjalar ke tempat ini."Â Pelukan erat Mbok Jum menenangkan Gemala yang dicekam ketakutan. Rasa peduli. Hal yang tidak pernah didapatkannya, selain dari nenek tua itu.Â
Figur bapak sudah lama mati, setelah ibunya dibawa pergi orang lain. Mencari kebahagiaannya sendiri. Dan melupakan masa suram di antara bedeng-bedeng karatan.Â
"Kita mau kemana, Mbok?"Â
"Kemanapun kita bisa hidup, Gemala."Â
Mbok Jum melangkah tergesa. Menuntun gadis kecil meninggalkan tempat itu. Dan di jalanan, orang-orang masih berteriak tentang harapan.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H