Dua puluh tahun lalu, Mbok Jum memulai usaha kedai nasi di lokasi pembangunan kawasan industri. Diboyong ke kota oleh mendiang suaminya yang bekerja sebagai kuli bongkar muat di proyek pemerintah.Â
Kala itu ia datang dengan harapan akan kehidupan yang lebih baik daripada di desa. Menjual segala yang dipunya untuk modal usaha. Pertaruhan yang mahal. Manisnya tak lagi terasa. Kini pahitnya tersisa.Â
Lima tahun berjalan, dan setelahnya dihentikan. Dua gedung roboh, dan banyak pekerja yang celaka. Termasuk mendiang suami Mbok Jum. Meski uang duka, tak pernah ia terima. Hanya satu jawaban yang didapatkan. Uang duka urung cair, karena pemilik usaha keburu masuk penjara.Â
Dana tersendat dan proyek terbengkalai. Desas-desus berhembus, pembangunan dihentikan karena uang proyek banyak yang dikorupsi. Entah oleh siapa.Â
Tak ada yang tertinggal dari proyek mangkrak tersebut, selain cerita dan fisik bangunan setengah jadi. Bobin kayu bekas gulungan kabel, digunakan sebagai meja. Potongan kayu dan seng, dibuat menjadi bedeng.Â
Bangunan semi permanen yang Mbok Jum sebut sebagai rumah, sekaligus tempat usaha yang penuh tumpukan sampah. Kedai nasi tinggal cerita. Kini, berkarung-karung botol plastik, menanti diantar ke pengepul. Dan satu dus mie instan, adalah harta yang tersisa.Â
"Kelak bila kamu sudah besar dan punya uang banyak, kamu harus bayar baju bekas itu pada Mas Sigit."Â
"Aku tak mau jadi besar, Mbok."Â
"Ngawur!" Mbok Jum terheran-heran pada jawaban Gemala. Ia menuangkan teh dari cangkir seng ke dalam gelas plastik.Â
"Malam ini, tidur di sini saja. Nanti kamu dipukul bapakmu, bila dia tahu payungmu hilang."Â
Gemala merebahkan tubuhnya di atas balai bambu beralas kardus. Menutup mata dan membuka angan. Tersenyum. Mengingat kesenangan terakhir di bawah hujan.Â