"Aku mau bermimpi indah." Iapun terlelap, dibelai semilir angin. Dininabobokan decit lirih, dari atap seng yang bolong dimakan karat. Â
Dunia hitam-putih di matanya. Tak ada yang dirisaukan, selain uang receh yang harus dibawa pulang untuk bapak. Masa kecil yang penuh ketidakberuntungan.Â
Bermain atau bekerja apa bedanya? Menjual tisu, koran, mengumpulkan kemasan air mineral, ojek payung dan meminta-minta. Dipaksa dan terbiasa.Â
Lelap. Hitam dan pekat. Gemala mengisi mimpi-mimpi tanpa harap. Tenang. Jiwa kecilnya butuh istirahat.Â
Mimpi apa yang diharapkan dari seorang anak yang bernasib buruk sejak dalam kandungan. Barang-barang mahal atau liburan ke luar negeri? Makan tiga kali sehari saja sudah mewah.Â
Mbok Jum tergesa-gesa membangunkan Gemala. Pagi hari belum tiba. Namun langit menyala berwarna merah. Api berkobar-kobar membakar pemukiman di seberang sana.
Hembusan angin membawa kepulan asap hitam menari-nari. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Panik. Berteriak-teriak, "Kebakaran!"Â
"Kamu ikut Mbok. Cepat atau lambat, api itu akan menjalar ke tempat ini."Â Pelukan erat Mbok Jum menenangkan Gemala yang dicekam ketakutan. Rasa peduli. Hal yang tidak pernah didapatkannya, selain dari nenek tua itu.Â
Figur bapak sudah lama mati, setelah ibunya dibawa pergi orang lain. Mencari kebahagiaannya sendiri. Dan melupakan masa suram di antara bedeng-bedeng karatan.Â
"Kita mau kemana, Mbok?"Â
"Kemanapun kita bisa hidup, Gemala."Â