Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Modal Cinta

14 Oktober 2021   11:12 Diperbarui: 14 Oktober 2021   11:24 1129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Seorang lelaki kejatuhan lambang hati /Modal Cinta (Foto: Saydung89 Via Pixabay)

"Kau jangan terlalu naif, Bejo! Menikah itu bukan cuma modal cinta. Kalian harus benar-benar saling mengenal, agar kelak tidak sama-sama menyesal!" 

Hanifah memang sok tahu. Ia bertingkah seolah meragukan keputusanku. Tadinya kupikir, bercerita kepada teman-teman dapat mengurangi ketegangan menjelang lamaran. Namun ternyata, tak ada satupun  yang berusaha membuatku lebih bersemangat. 

Badi, Hanifah, Lintang dan Bayu. Mereka sepertinya belum mengerti, seorang lelaki pantang menarik kata-katanya. Ikatan cinta dan kasih sayang itu sakral. Bukan main-main. Dan sebuah komitmen, harus lekas diikat dengan cincin kawin. 

Badi kerap membenturkan kisah cintanya yang kandas dengan kisah cintaku. Ia bilang aku harus hati-hati bermain hati. Baginya frasa jatuh cinta adalah terjatuh dan sakit. Mencintai berarti siap menderita. Mungkin aku naif, tetapi tak bodoh. 

Dan aku tahu, Badi tak pernah mencoba bangkit dari keterpurukannya di masa lalu. Membiarkan cerita itu lekat dengan dirinya. Semacam penyintas putus cinta yang putus asa. Menghibur diri dengan bercerita. 

Berbeda dengan Bayu yang tak pernah berhenti mengeluhkan hal yang sama. Berulang-ulang. Membosankan. Baginya, meraih cita-cita yang belum kesampaian, lebih penting dari urusan mencari pasangan. Padahal masalahnya cuma satu, yakni dirinya sendiri. 

Sementara Lintang terlalu penakut untuk menjalin hubungan serius. Kutahu ia tengah dekat dengan seseorang. Namun masih terkesan tarik-ulur. Banyak pertimbangan. Mungkin ia menganggap cinta adalah permainan. Dan ia tak mau kalah. 

Dan Hanifah berbicara seakan-akan ia mahir dalam urusan asmara. Padahal kutahu pasti, ocehannya cuma teori. Hubungan jarak jauh dengan kekasihnya di Hongkong sudah tak terdengar lagi. Entah digantung atau tercekik, senyap.

Kuteguk kopi hitam sekali habis. Mengakhiri kebersamaan kami malam itu. Dinda adalah pilihan terbaik. Dan tidak seorangpun boleh mengubahnya. 

Memang mereka lebih lama mengenalku. Namun ternyata, itu semua belum cukup untuk memahami perasaanku saat ini. 

Pertunjukan jalanan menahan langkahku di luar cafe. Penyair tua memetik gitar, melantunkan nada sendu. Di pertengahan lagu, ia membaca sajak sambil berteriak. Hingga langkahku kembali berpacu. 

Tujuh tiga puluh pagi. Dua kotak coklat, dan seikat bunga telah tersedia. Dua orang perwakilan keluarga kuajak serta sebagai juru bicara. Kunjungan sederhana ke rumah Dinda untuk membicarakan masa depan. Membahas tentang lamaran resmi dan rencana pernikahan. 

Pagi ini, aku mengenakan kemeja batik, sepatu pantofel dan gaya rambut yang disisir ke belakang. Tubuhku wangi parfum malaikat subuh. Bergaya klimis untuk sekali seumur hidup, tak ada salahnya. Momen berharga ini tak terjadi setiap hari. 

Mas Bambang, kakak sulungku tersenyum bahagia. Katanya, sejak kepergian bapak dan ibu, ia tak pernah melihatku begitu bersemangat dalam hidup selain bekerja. 

Mati-matian kutahan laju air mata, tetapi tak bisa, "Sial, wajahku pasti jelek di depan kamera." 

Kami tiba di rumah Dinda dengan wajah gembira. Tersenyum. Mengucapkan salam dan berbincang ringan dengan kedua orangtuanya. Hingga perasaanku sedikit terganggu. Melihat Dinda terpaku di sudut ruangan. 

Ia tak dapat mengatasi ketegangan. Raut wajahnya, seolah mengisyaratkan kegelisahan. Kurasa perasaan tak biasa. Dan hati kami seolah berjarak. "Ada apa?"

"Dinda anak kami masih terlalu muda, masih banyak yang harus diraih. Dan saat ini belum waktunya untuk menikah." 

Kata-kata calon mertua terlontar tanpa aba-aba. Dadaku remuk dibuatnya. Meskipun mencoba tenang, tetapi aku tak dapat menyembunyikan kekecewaan. 

"Dinda, bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya?" 

"Maaf, Mas. Tapi ternyata aku belum siap." 

Dan jawaban Dinda mengunci ribuan pertanyaan. Meski kami meminta waktu berbicara empat mata. Namun hasilnya hanyalah air mata.

Hampa, dan terluka. Hari ini kuputuskan mengakhiri ikatan cinta dengannya. "Apapun yang terbaik untukmu, Dinda."

Mas Bambang memacu mobil terburu-buru. Ia ingin segera tiba di rumah dan menenangkan diri. Padahal bukan dia yang lamarannya ditolak calon mertua. Namun kutahu, hatinya patah melihatku tertunduk lesu di kursi belakang. 

Kami tiba di rumah tanpa kata-kata. Hening. Di beranda kuhempaskan rasa sakit dan penasaran. Termenung. Dan tiba-tiba saja terngiang, sajak penyair di pinggir jalan. 

Manusia bukanlah makhluk konsisten. Terlalu banyak rongga di dada yang menyimpan misteri. Namun paling tidak, mereka dapat memilih untuk konsekuen. Menjalani akibat, atau mati berdiri.

Benar juga, Dinda mungkin tidak akan menyesal karena mengubah pendiriannya. Keputusannya menolak lamaranku tak membuatnya kehilangan apapun. Dan kelak, ia dapat mencari lelaki lain yang lebih baik dariku.  

Namun ia takkan mendapatkan lagi cinta dan kasih sayang, seperti yang kuberikan selama ini. Menempatkan dirinya sebagai prioritas utama, memuja dan memahami keinginannya lebih dari dirinya sendiri. Dan tanpaku, kehidupannya tak lagi berwarna. 

Oh Tuhan, dalam kondisi patah hati pun sempat-sempatnya aku menghibur diri.

Kuambil tisu dan menyeka noda pada ujung sepatu. Mematikan puntung rokok dan menyimpannya di dalam asbak. Menarik nafas panjang dan menatap Mas Bambang. 

Kusampaikan padanya, bahwa aku baik-baik saja. Ia terlihat kecewa dan memendam tanda tanya. Lalu kucoba menghiburnya, "Mas, wajahku ini lebih ganteng darimu, kau harus ingat itu." 

Dan kamipun tertawa. Banyak hal buruk yang terlewati, dan tak satupun mampu membuatku tumbang. Keluarga selalu ada di saat susah ataupun senang. Lantas apa gunanya resah, dan berlarut-larut dalam kesedihan. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun