Pertunjukan jalanan menahan langkahku di luar cafe. Penyair tua memetik gitar, melantunkan nada sendu. Di pertengahan lagu, ia membaca sajak sambil berteriak. Hingga langkahku kembali berpacu.Â
Tujuh tiga puluh pagi. Dua kotak coklat, dan seikat bunga telah tersedia. Dua orang perwakilan keluarga kuajak serta sebagai juru bicara. Kunjungan sederhana ke rumah Dinda untuk membicarakan masa depan. Membahas tentang lamaran resmi dan rencana pernikahan.Â
Pagi ini, aku mengenakan kemeja batik, sepatu pantofel dan gaya rambut yang disisir ke belakang. Tubuhku wangi parfum malaikat subuh. Bergaya klimis untuk sekali seumur hidup, tak ada salahnya. Momen berharga ini tak terjadi setiap hari.Â
Mas Bambang, kakak sulungku tersenyum bahagia. Katanya, sejak kepergian bapak dan ibu, ia tak pernah melihatku begitu bersemangat dalam hidup selain bekerja.Â
Mati-matian kutahan laju air mata, tetapi tak bisa, "Sial, wajahku pasti jelek di depan kamera."Â
Kami tiba di rumah Dinda dengan wajah gembira. Tersenyum. Mengucapkan salam dan berbincang ringan dengan kedua orangtuanya. Hingga perasaanku sedikit terganggu. Melihat Dinda terpaku di sudut ruangan.Â
Ia tak dapat mengatasi ketegangan. Raut wajahnya, seolah mengisyaratkan kegelisahan. Kurasa perasaan tak biasa. Dan hati kami seolah berjarak. "Ada apa?"
"Dinda anak kami masih terlalu muda, masih banyak yang harus diraih. Dan saat ini belum waktunya untuk menikah."Â
Kata-kata calon mertua terlontar tanpa aba-aba. Dadaku remuk dibuatnya. Meskipun mencoba tenang, tetapi aku tak dapat menyembunyikan kekecewaan.Â
"Dinda, bukankah kita sudah membicarakan ini sebelumnya?"Â
"Maaf, Mas. Tapi ternyata aku belum siap."Â