Tante Mey terburu-buru menghapus air matanya. Ia menyadari, aku tengah mencuri pandang ke arahnya. Ia berbalik menatapku. Tersenyum kecil. Namun hal itu tak dapat menyembunyikan kesedihan di wajahnya.
Kereta berhenti di stasiun Tangerang. Dari jauh kulihat langkahnya begitu lemah. Niatku mengejar untuk memapah, tetapi telah ada orang lain yang menyambutnya di selasar. Lelaki itu terlihat khawatir.Â
Entah kenapa ada perasaan cemburu di dadaku. Harusnya aku yang memapahnya berjalan. Mengantarnya sampai ke rumah, atau menemani bercengkerama di salah satu kedai di Pasar Lama.Â
Menghabiskan malam di pinggiran kali Cisadane. Dan melihat Tante Mey tertawa. Aku mau menikmati lebih banyak waktu bersamanya.Â
Buru-buru kutepis perasaan. Haruskah aku bertanya padanya tentang lelaki itu? Namun kupikir itu tak begitu penting. Dan tidak sebanding dengan sebuah pertanyaan yang kusimpan untuknya sejak lama.Â
Malam mengikatku pada lamunan. Masa kecil dan penderitaan mulai menyeruak dari bejana masa lalu. Dahulu hidupku pahit dan bergelimang kengerian. Meskipun kini semua telah lebih baik. Harapan dan kerja keras menuntunku pada kehidupan yang mapan dikata orang. Â
Ditempa lingkungan yang culas, tak membuatku tergilas. Beruntung aku mengenal orang-orang baik. Meskipun sempat menyesali keputusanku di masa remaja. Melarikan diri dari tempatku dibesarkan.
Dan sebuah kisah cinta yang kandas menjadi titik balik. Tentang asal usul, keturunan dan orangtuaku. Tabir gelap yang telah lama kuabaikan.Â
Dua bulan lalu, aku bertemu dengan Tante Mey di kereta. Ia duduk menyamping menghadap keluar jendela. Menatap kosong dan sesekali menghela nafasnya.Â
Tak ada headset yang menempel di telinganya. Namun ia terlihat begitu larut dalam lamunan dan menitikkan air mata. Aku menghampiri dan memberinya tisu. Pertemuan pertama kami begitu kaku.Â