Tante Mey bercerita tentang masa muda yang liar. Kemiskinan, pergaulan bebas dan seorang anak yang ia titipkan di panti asuhan. Ia menginginkan lelaki itu, tetapi tak ingin membuatnya menyesal.Â
Namun lelaki itu terlihat begitu gigih. Dan sepertinya bersungguh-sungguh ingin menjalin hubungan serius dengan Tante Mey. "Tak ada kesalahan yang tak terampuni dalam kisahmu, Mey,"Â ucapnya.Â
Hingga Tante Mey menyadari kehadiranku. Ia melambai dan menatap ke arahku. Lelaki yang duduk bersamanya, menyapa ramah dan tersenyum. Hingga raut wajah mereka terlihat heran, melihatku terpaku. Karena aku tak tahu, bagaimana harus bersikap.
Marah, kecewa atau dendam, entahlah. Haruskah kulemparkan segala tanya di hadapan mereka? Namun aku memilih melangkah pergi.Â
"Mas, tunggu!"Â
Lelaki itu berjalan ke arahku dan berdiri tepat di depan mata. Begitu tenang ia berbicara, "Mas, saya harap kamu tidak berniat buruk pada calon istriku."Â
Dan aku tak menjawab apapun. Hanya mengangguk dan tersenyum. Kurasa, dorongan berbicara dari lelaki itu adalah kasih sayang dan cinta. Dan aku dapat memahami tindakannya.Â
Ia pun kembali ke mejanya bersama Tante Mey. Mereka terlihat begitu bahagia dan haru. Kutebak lelaki itu melamarnya malam ini. Dan aku dapat melangkah pulang dengan tenang.Â
Tadinya aku tak yakin dengan apa yang kudengar di panti asuhan. Tempat yang telah lama kutinggalkan. Di mana saat itu, Tante Mey tengah mencari anaknya yang dititipkan dua puluh tahun lalu. Nama bayi mungil itu, sama dengan namaku.Â
Dan butuh waktu untuk memastikan segala keraguan. Hingga malam ini, semuanya terang benderang. Tante Mey adalah ibuku.Â
Sempat aku berpikir, hal ini sungguh ironis. Seorang Ibu mengenal anaknya sekadar teman seperjalanan. Namun bukankah kehidupan memang penuh ironi, paradoks, dan tragedi. Â
Bahkan kita tak ragu meneteskan air mata, untuk sebuah adegan menyentuh dalam film di bioskop. Dan tertawa di dunia nyata, saat mengenang kisah kelam di masa silam.Â