Tuna wisma berdesak-desakan di kolong jembatan. Dan anehnya, burung hantu dan cerita-cerita hantu, mendapat tempat di hunian terbengkalai.Â
Bangunan dan lahan kosong di perkotaan, dijaga ketat petugas keamanan. Dan anehnya, sawah dan hutan berganti pemukiman. "Aduhai!"
Uang berbicara lebih lantang daripada khotbah. Kata-kata bijak berganti sumpah serapah, lalu terbuang dalam tong sampah!
Seketika aku terbangun, langit sudah terang. Majikanku berdiri di depanku dengan wajah garang. "Bangun! Lekas buang bungkusan sampah itu jauh-jauh!"
Bergegas kuambil dua bungkusan sampah. Satu di tangan kiri, satu di tangan kanan. Kubawa ke luar pagar, dan meletakkannya di samping rumah. Namun majikanku terlihat tak senang.Â
"Jangan buang sampah di situ!"Â
"Lalu di mana?"Â
Truk-truk pengangkut sampah melintas menopang segunung beban. Para bestari melempar puntung rokok dari kaca jendela. Karenanya kita tak pernah bisa mewariskan kesadaran. Pendidikan tinggi hanya mencatatkan angka-angka di dalam ijazah belaka.Â
Hidup berdampingan dengan alam tidak pernah tertanam, meski sebatas slogan. "Jaga lingkungan dan buang sampah pada tempatnya" disematkan sekadar formalitas.
Kenyataannya, manusia berkompetisi dan menunaikan predasi bagi lingkungan. Kebijakan dengan sentuhan kebajikan, hanyalah lembaran kertas. "Ah, sialan!"
Mentari menikam tepat di atas kepala. Burung hantu mati terkapar diterkam kucing-kucing tak bertuan. Nasib baik tak berakhir di kandang besi dan terpenjara. Di dunia manusia, orang-orang sibuk mencari tempat bernaung dan pemakaman.Â
"Bodo! Melamun saja kerjamu!"
Kedua tanganku gemetar, bungkusan ini terasa kian berat. Kulihat lautan sampah berserak-serak. Di pusat kota yang sekarat. Pohon-pohon tua, berebut sinar matahari di bayang-bayang bangunan beton.