Namaku Sambodo, biasa dipanggil Sam. Dan aku tak suka dipanggil Bodo! Meskipun tak berpendidikan tinggi, sing penting hidupku tentram. Manut pesan mendiang ibu, "Ngono ya ngono, ning aja ngono."
Malam tadi, majikanku berkata, "Kamu berjaga malam ini! Tak usah tidur!" Matanya melotot seperti harimau. Dan aku hanya dapat mengelus dada. Nasib pesuruh, harus mau diatur-atur. Berani melawan, urusan bisa kacau.Â
Mana pernah aku membantah. Terlebih, saat majikanku diserang stres dan darah tinggi. Kehilangan barang berharga di dalam rumah, membuatnya resah. Nasib baik, aku tak dicurigai mencuri.Â
Berteman sepi, tanpa secangkir kopi. Kumulai berkeliling, mengalihkan rasa kantuk. Pandanganku tertuju pada bungkusan sampah bertumpuk-tumpuk.
"Ke mana perginya truk sampah? Halaman rumah sudah seperti kapal pecah!"Â
Pukul tiga dini hari, seekor burung hantu hinggap di pagar besi. Matanya tak lepas dari tikus besar yang terjatuh dari plafon.
Menjelang subuh, burung hantu terlihat frustasi. Mangsa yang diburu sedari tadi, berlari masuk ke dalam lubang sempit di tembok beton.Â
Burung hantu bersarang di gedung tua tak berpenghuni. Bangunan tujuh lantai yang ditinggalkan. Bukan di atas pohon!Â
Para Penulis fiksi, merekam ironi dalam balutan kisah misteri. Namun para penguasa dan pembuat kebijakan, tak dapat membaca makna dan pesan yang disampaikan.Â
"Konon, karya sastra berupa prosa, pantun dan puisi, hanya dapat dimengerti oleh orang-orang yang punya hati."Â
Tuna wisma berdesak-desakan di kolong jembatan. Dan anehnya, burung hantu dan cerita-cerita hantu, mendapat tempat di hunian terbengkalai.Â
Bangunan dan lahan kosong di perkotaan, dijaga ketat petugas keamanan. Dan anehnya, sawah dan hutan berganti pemukiman. "Aduhai!"
Uang berbicara lebih lantang daripada khotbah. Kata-kata bijak berganti sumpah serapah, lalu terbuang dalam tong sampah!
Seketika aku terbangun, langit sudah terang. Majikanku berdiri di depanku dengan wajah garang. "Bangun! Lekas buang bungkusan sampah itu jauh-jauh!"
Bergegas kuambil dua bungkusan sampah. Satu di tangan kiri, satu di tangan kanan. Kubawa ke luar pagar, dan meletakkannya di samping rumah. Namun majikanku terlihat tak senang.Â
"Jangan buang sampah di situ!"Â
"Lalu di mana?"Â
Truk-truk pengangkut sampah melintas menopang segunung beban. Para bestari melempar puntung rokok dari kaca jendela. Karenanya kita tak pernah bisa mewariskan kesadaran. Pendidikan tinggi hanya mencatatkan angka-angka di dalam ijazah belaka.Â
Hidup berdampingan dengan alam tidak pernah tertanam, meski sebatas slogan. "Jaga lingkungan dan buang sampah pada tempatnya" disematkan sekadar formalitas.
Kenyataannya, manusia berkompetisi dan menunaikan predasi bagi lingkungan. Kebijakan dengan sentuhan kebajikan, hanyalah lembaran kertas. "Ah, sialan!"
Mentari menikam tepat di atas kepala. Burung hantu mati terkapar diterkam kucing-kucing tak bertuan. Nasib baik tak berakhir di kandang besi dan terpenjara. Di dunia manusia, orang-orang sibuk mencari tempat bernaung dan pemakaman.Â
"Bodo! Melamun saja kerjamu!"
Kedua tanganku gemetar, bungkusan ini terasa kian berat. Kulihat lautan sampah berserak-serak. Di pusat kota yang sekarat. Pohon-pohon tua, berebut sinar matahari di bayang-bayang bangunan beton.
Penyapu jalanan termenung di sudut jalan. Tong sampah terbenam dalam tumpukan plastik. Parit menghitam. Dan orang-orang lalu-lalang tanpa merasa jijik.Â
"Lekas! Buang sampah itu ke dalam parit!"Â
"Tidak! Akan lebih baik, bila engkau saja yang kulempar ke sana!"Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H