Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Malioboro, Romansa dan Kenangan

18 September 2021   11:33 Diperbarui: 18 September 2021   11:45 2347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yogyakarta, kota seribu luka. Mataku enggan terpejam di ujung malam. Merepih kenangan tertinggal pada kehangatan secangkir wedang. Di angkringan Mas Lik. Nostalgia tumpah-ruah. Meniti masa-masa penuh tawa dan kemesraan. Meski memudar, kian samar dalam ingatan. 

Harum nafasnya masih membekas. Di sepanjang jalan yang pernah kami lalui berdua. Malioboro dan keramaian. Dua hati memulai petualangan. Meskipun tak pernah tiba di titik akhir. Dan terkulai lemas dihempas takdir. 

Banyak orang datang untuk merayakan romantisme di kota ini. Dan tak sedikit yang sekadar singgah, meratapi kegagalan dan patah hati. Di tiap sudut kota, yang sesak cerita cinta. Tersenyum atau menitikkan air mata.

"Aku ingin selalu bersamamu, Han."

"Tentu saja, itu juga keinginanku, Widya." 

Harapan yang sama, tak menjamin masa depan dapat kami lalui bersama. Kata-kata mesra tertinggal dalam rangkaian cerita lama. Layaknya mimpi di malam hari. Hilang sirna, saat terbangun di pagi hari.

Pukul dua dini hari. Kumenyusuri jalan sepi. Menghembuskan asap dan harapan kosong. Tak seperti dahulu. Malioboro ramai dan hidup. Dimana alunan musik, sajak dan puisi, mengisi malam menjelang pagi.  

"Sangkan paraning dumadi." Dan sebuah janji, membawaku kembali ke kota ini. Meski telah tertunda, dua puluh tahun lamanya. Di Malioboro, haruskah aku memasrahkan kisah lalu. Atau meraihmu kembali dalam pelukan?

Kuhempaskan angan-angan dan ekpektasi ke dalam keranjang sampah. Menyandarkan keinginan hanya sebatas do'a. "Widya, aku masih tergila-gila. Ingatan tentangmu masih tersisa. Dan perasaan ini tak mau berbeda."

Dua puluh tahun lalu, waktu seakan enggan berputar. Hari-hari penuh kebahagiaan tak bertepi. Mereguk secawan kemesraan dan cinta. Mabuk dan tenggelam dalam romantisme Yogyakarta. 

Lantunan lagu "Cinta Putih" milik Katon Bagaskara, kupesan dimainkan bersama petikan gitar Mas Gun. Kala kusematkan cincin perak berukirkan nama kami di jari manis Widya. 

Dan aku memaknai peristiwa itu layaknya mengibarkan bendera putih. Menyerahkan kebebasan masa muda dengan komitmen dan tanggung jawab. 

Widyastuti Larasati, maukah kau merajut hari-hari bahagia bersamaku?

Malam itu, Widya menitikkan air mata. Haru. Memandangi cincin perak yang melingkar di jari manisnya. Menggenggam jemari tanganku. Ia tak menjawab apa-apa. Hingga kami beranjak, melangkah pergi. Menyusuri keramaian di bawah lampu-lampu kota. 

Orang bilang, aku nekat menjalin hubungan dengan seorang gadis ningrat. Darahku tak biru. Bibit, bebet dan bobot yang tertuang di akta kelahiranku tak menggunakan aksara Jawa. Tanpa gelar budaya dan silsilah istimewa.

Ibuku di kampung tak pernah khawatir tentang hubungan kami. Beliau mungkin berpikir, kisah cinta ini hanya sementara. Masa pubertas, cinta monyet atau sekadar dinamika remaja. 

Mereka melepasku ke Yogyakarta untuk kuliah. Dan percaya, anak lelakinya tidak akan membuat masalah. Hingga suatu ketika, aku membawa Widya berkunjung ke rumah. 

Di depan Widya mereka begitu ramah. Namun di depanku, ayah dan ibu tak dapat menyembunyikan kekhawatiran. 

Hari itu juga, ibu memintaku mengantar pulang Widya ke Yogyakarta. Kamipun harus mengurungkan niat untuk bermalam di Tasikmalaya. 

Kenyataannya memang rumit. Keluarga besar Widya tak pernah bisa menerimaku. Mereka berkata, aku hanya membawa pengaruh buruk baginya. 

Malam di Malioboro. Keramaian menyeret kami dalam kegembiraan. Mengabaikan dunia, seolah esok takkan pernah tiba. Dan kami akan selalu bersama. Kupikir, saat itu aku memang belum dewasa. 

"Besok, apakah kita akan bertemu lagi, Han?" ucap Widya, sembari menuangkan wedang miliknya ke dalam cangkir milikku yang telah kosong. 

Kupandang raut wajahnya yang khawatir. Menerka omelan apa yang akan diterima, setelah kami menghabiskan malam dan pergi tanpa pamit dari rumahnya. Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu pasti murka. Dan seperti biasanya, mereka akan menyuruh orang untuk memberi peringatan padaku. 

Bila hal buruk terjadi, Kau dapat menemukan aku di sini. Di akhir pekan yang ramai di setiap pukul tiga pagi, Widya.

Belum sempat kuteguk wedang di meja. Dua orang berbadan tegap menjelang ke arah kami. Widya menghela nafas, ia tahu mereka pesuruh Kanjeng Romo. Dan hal buruk pun terjadi, akibat ulahku sendiri. 

Darah muda membuatku merasa jumawa dan lantang berkata, "Tak perlu dijemput paksa! Aku yang akan mengantar Widya pulang ke rumah!" 

"Koe ra pantes! Trembelane!" Dan sebuah tinju tepat menghantam wajahku. Disusul tinju bertubi-tubi. Namun perlawananku sia-sia. Kala tangis histeris Widya sudah tak terdengar lagi. Hening. Keramaian seakan mati. 

Rasa sakit di tubuhku, tak pernah kuingat lagi. Namun sakit di hatiku, membakar ambisiku. Darah biru. Kelak kan kubayar penghinaan itu dengan setumpuk materi. Menyilaukan mata mereka. Hingga buta, pada strata sosial yang memilah-milah warna darah manusia. 

Sejak hari itu, aku menutup hati dan kedua kuping. Mencurahkan masa dan segenap daya untuk meraih sebanyak-banyak materi. Bekerja dan bekerja. Tak peduli berapa lama waktu. Hingga lelah dan hampir menyerah. Menepi dan menata diri berkali-kali.

Dan kini aku kembali ke kota ini. Menyelami peristiwa masa silam yang melemparkanku pada kesuksesan hidup. Dimata orang-orang. Bukan di mataku. 

"Sial!" Kunci mobilku tertinggal di angkringan Mas Lik. Dan hal itu membuatku harus kembali ke sana.

Lelaki tua terpogoh-pogoh membuka pintu mobil majikannya. Dari dalam mobil mewah berwarna putih, perempuan paruh baya melangkah keluar dan duduk di angkringan Mas Lik. Ia begitu anggun. 

Dadaku seketika beku. Ya, aku mengenal paras cantik itu. Kerutan-kerutan kecil pada wajahnya, tidak menghalangi binar kecantikannya. Widya tak pernah berubah. 

Aku terpana. Kami saling bertatapan dan mengunci kata-kata. Terpaku. Mengekang hasrat yang bergelora di dalam dada. Aku memesan kembali secangkir wedang. Dan mengambil duduk, tepat di sampingnya. 

"Sudah begitu lama, Han. Kupikir kau sudah lupa. Kau kembali untukku?" 

"Entahlah, Widya. Di kota ini aku kembali, pulang, ataukah singgah. Yang jelas, aku bahagia melihatmu sekarang." 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun