Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Buku Catatan Aiko

8 September 2021   10:31 Diperbarui: 8 September 2021   10:46 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi suasana malam di Shinjuku (Foto: Philippsaal Via Pixabay) 

Seseorang menggoyangkan tubuhku dan membantuku berdiri. Di tepi jalan khusus pedestarian yang mulai ramai. Melihat bahasa tubuhnya, ia memintaku untuk segera pergi. Sebotol umeshu kucekik erat. Dan aku tercekat, menyadari opsir polisi tengah berjalan ke arahku. Pagi yang pelik di Shinjuku.

Kepalaku terasa berat dan masih berusaha mengingat-ingat, apa terjadi di malam tadi. Hingga kurasakan sesuatu menusuk di saku celana. Buku catatan mungil berpita merah. "Inikah hadiah perpisahan dari Aiko," pikirku.

Hal terakhir yang kuingat sebelum mabuk tersungkur di tiang listrik, adalah suasana Nakameguro yang tenang. Deretan pohon sakura tanpa bunga. Hanya ranting basah berselimut kabut. Tenang, tidak terlalu banyak orang lalu-lalang. 

Dan gadis lokal bernama Aiko, mencium pipiku di atas jembatan. Itulah kecupan perpisahan. Ia tahu, malam ini aku akan kembali ke Bali. Tiga hari, terlalu singkat untuk melepas kerinduan kami. 

Dua tahun lalu, kami dipertemukan di Pantai Sanur. Penampilan Aiko yang tak biasa kala tengah berjemur, membuatku penasaran. Wajah Asia dengan rambut panjang terurai berwarna pirang. 

Aku bukan pemandu wisata, jadi tak tahu persis darimana ia berasal. Paras mereka terlihat sama. Entah itu turis China, Jepang, Korea atau Vietnam. 

Ketika itu, aku membantu temanku menjaga toko perlengkapan surfing. Mengisi waktu kosong sembari menunggu panggilan kerja di kapal pesiar. 

Kulari ke pantai dan menawarkan jasa untuk berselancar padanya. Padahal toko kami hanya menyediakan perlengkapannya saja. Modal papan selancar dan modal dusta, hal itu untuk sekedar berkenalan. 

Ramah-tamah berbuah senyuman. Meski hanya sebentar, kebersamaan kami cukup berkesan. Ia memberikan alamat motel. Memintaku menunjukkan tempat-tempat menarik di Bali. Semacam pemandu wisata dadakan. Dan aku sama sekali tak keberatan.

Malam itu, kami bertemu kembali. Aiko terlihat menawan dengan long dress berwarna gelap dengan belahan di bagian paha. Mengingatkanku pada figur anime Dark Sakura, lengkap dengan rambut panjang yang dicat pirang. Pikiranku tak tenang dibuatnya.

Kami menghabiskan malam dari bar ke bar. Menikmati suasana pantai dengan bercengkrama. Berusaha mengenal satu sama lain lebih dekat. Penuh canda tawa di hari pertama. Hingga pagi menjelang. Dan menikmati matahari terbit berdua.

Hari-hari berikutnya berjalan seru. Kami semakin dekat. Aiko yang tak nyaman berada di rombongan, memilihku untuk menemaninya. Dan aku merasa, hubungan ini lebih dari sekedar pemandu dan turis. Bahkan sudah melewati batas persahabatan.

Meski berkali-kali mencoba menampik, nyatanya kami mulai berbicara hal-hal seputar asmara. Dengan bahasa Inggris campur bahasa Indonesia. Dan tak jarang, kami berbicara dengan bahasa tubuh. 

Pernah suatu malam, aku kena jewer Made Manu, Kelian adat yang menyeretku saat memeluk Aiko di tepi pantai. Dan Aiko malah tertawa cekikikan. Mungkin ia mengira, orang itu adalah ayah atau pamanku. Akupun harus pulang ke rumah dengan kuping merah yang serasa hampir copot.

"Apa arti namamu, Manik-san?" Aiko bertanya. 

Kujawab pertanyaannya dengan sebuah legenda. Namaku adalah tokoh utama yang menyebabkan terjadinya Selat Bali. Mungkin itulah satu-satunya kebanggaan pemberian orangtua. 

Konon Manik Angkeran memotong ekor Naga Besukih untuk dipertaruhkan dalam permainan judi. Naga menjadi murka dan memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali, untuk mencegahnya kembali berbuat dosa.

Aiko cukup terkesan dengan legenda yang diceritakan. Iapun mengarahkan jemarinya ke depan. Tepat menunjuk kawanan burung jenjang yang mencari makan. Kemudian berkata. 

"Di desa kami, mungkin salah satu burung itu bernama Urashima Taro." 

Kata-kata berikutnya tak lagi kuhiraukan. Duniaku telah teralihkan, pada tatapan mata dan gerak bibirnya yang lembut. Aiko, gadis paling cantik yang pernah kutemui. Dan aku beruntung, dapat menjalin hubungan asmara dengannya. 

Dua bulan setelah Aiko kembali ke Jepang. Aku menandatangani kontrak untuk bekerja satu tahun di kapal pesiar. Mengarungi Eropa dan berlayar kembali ke Bali. 

Kami saling bertukar kabar dan menjaga komunikasi melalui media online. Meskipun tidak setiap hari. Namun kerinduan itu sedikit terobati. Hubungan jarak jauh, selalu menuntut kesabaran. 

Hingga saatnya tiba. Aku menuntaskan kontrak kerja dan mengambil paket wisata ke Tokyo. Hanya tiga hari tiga malam. Berhemat untuk urusan yang lebih besar. Aku memang merencanakan pernikahan. Meskipun Aiko terkesan acuh, untuk urusan yang satu itu. 

Hari pertama aku tiba. Ia menyambutku dengan senyuman. Di Bandara Tokyo Haneda. Aiko masih secantik saat pertama kali berjumpa. Meski telah mengubah gaya dan warna rambutnya. Ia tetaplah menawan.

Kami menuntaskan kerinduan dengan berjalan-jalan di Taman Shiba. Menikmati romantisme di bawah menara Tokyo yang menjulang. Berbagi kemesraan dan cinta.

Meskipun, ia tak pernah mengijinkan aku untuk berkunjung ke rumahnya. Kami menghabiskan waktu di cafe, jalanan dan taman. Kerinduan itu sudah terbayarkan. 

Hari berikutnya, kami menjelajahi kota dari stasiun ke stasiun. Menyusuri malam pada lorong-lorong dan berhenti di kedai ramen di Shinjuku. Bergandeng tangan. Dan melepas canda mesra di dalam kereta menuju Nakameguro. 

Di salah satu jembatan di Nakameguro, Aiko memberikan sebuah buku catatan kecil berpita merah. Ia berkata, "Semua tentang kita ada di dalamnya. Namun kuharap, kau tak pernah melihat itu." Aiko menitikkan air mata. 

"Bukankah kita sedang bersenang-senang, Aiko?" Aku mengambil buku itu, dan memintanya membawaku ke Harajuku. 

Kata orang, di sana ramai dan kita bisa melihat cosplayer berdandan aneh-aneh. Namun ternyata aku salah. Tidak setiap waktu, kemeriahan dan parade ada di sana. Hingga kami Memutuskan kembali ke Shinjuku dan terdampar di salah satu pusat hiburan malam. 

Dan air mata Aiko, sudah berganti dengan tawa, mabuk dan cinta. Kesadaranku mulai redup, dan berencana mengakhiri malam di sebuah penginapan. 

Mungkin karena terlalu banyak minum, atau terlalu bersemangat menikmati kebersamaan. Ada irisan waktu yang hilang. Semuanya pekat. Dan aku sulit mengingat. 

"Besok kau akan pulang, dan kita akan kembali saling merindukan." 

Kata-kata itu seketika berdengung di telinga. Sesaat sebelum aku terkapar. Aiko sudah pergi dengan seseorang. Samar-samar kulihat, orang itu menyeretnya dengan kasar.

Kupikir itu orangtua atau keluarganya. Sudah dua hari ia tak pulang ke rumah. Mereka pasti sangat marah. Hingga Aiko tak sempat mengantarku ke Bandara.

Di dalam pesawat menuju Denpasar, aku mengambil buku catatan berpita merah. Membukanya dan terkejut. Teringat pada cerita Aiko tentang legenda Urashima Taro. Dan aku terlambat menyadari sesuatu. 

Konon seorang nelayan bernama Urashima Taro menyelamatkan seekor penyu. Atas jasanya ia diundang seorang putri, jelmaan penyu tersebut ke istana laut. Mereka hidup bersama. Hingga Urashima Taro ingin kembali ke desa dan menemui orangtuanya. 

Sebelum pergi, sang putri memberikannya sebuah kotak perhiasan. Namun Urashima Taro tidak diperkenankan membukanya. Karena bila dibuka, sesuatu yang buruk akan terjadi. Hingga ia membuka kotak perhiasan tersebut. Urashima Taro seketika berubah menjadi burung jenjang dan terbang tinggi ke angkasa.

Di setiap lembar buku catatan Aiko, tertulis namaku dalam huruf latin. Selebihnya, ia tulis dengan huruf hiragana. Kelak aku akan membacanya dengan bantuan aplikasi penerjemah. 

Beberapa lembar foto kami berdua di Pantai Sanur, terselip di halaman tengah. Dan sebuah foto terbaru di halaman akhir. Aiko, bayi mungil dan seorang lelaki Jepang yang memeluknya mesra dari belakang. 

***

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun