Kami menghabiskan malam dari bar ke bar. Menikmati suasana pantai dengan bercengkrama. Berusaha mengenal satu sama lain lebih dekat. Penuh canda tawa di hari pertama. Hingga pagi menjelang. Dan menikmati matahari terbit berdua.
Hari-hari berikutnya berjalan seru. Kami semakin dekat. Aiko yang tak nyaman berada di rombongan, memilihku untuk menemaninya. Dan aku merasa, hubungan ini lebih dari sekedar pemandu dan turis. Bahkan sudah melewati batas persahabatan.
Meski berkali-kali mencoba menampik, nyatanya kami mulai berbicara hal-hal seputar asmara. Dengan bahasa Inggris campur bahasa Indonesia. Dan tak jarang, kami berbicara dengan bahasa tubuh.Â
Pernah suatu malam, aku kena jewer Made Manu, Kelian adat yang menyeretku saat memeluk Aiko di tepi pantai. Dan Aiko malah tertawa cekikikan. Mungkin ia mengira, orang itu adalah ayah atau pamanku. Akupun harus pulang ke rumah dengan kuping merah yang serasa hampir copot.
"Apa arti namamu, Manik-san?" Aiko bertanya.Â
Kujawab pertanyaannya dengan sebuah legenda. Namaku adalah tokoh utama yang menyebabkan terjadinya Selat Bali. Mungkin itulah satu-satunya kebanggaan pemberian orangtua.Â
Konon Manik Angkeran memotong ekor Naga Besukih untuk dipertaruhkan dalam permainan judi. Naga menjadi murka dan memisahkan Pulau Jawa dan Pulau Bali, untuk mencegahnya kembali berbuat dosa.
Aiko cukup terkesan dengan legenda yang diceritakan. Iapun mengarahkan jemarinya ke depan. Tepat menunjuk kawanan burung jenjang yang mencari makan. Kemudian berkata.Â
"Di desa kami, mungkin salah satu burung itu bernama Urashima Taro."Â
Kata-kata berikutnya tak lagi kuhiraukan. Duniaku telah teralihkan, pada tatapan mata dan gerak bibirnya yang lembut. Aiko, gadis paling cantik yang pernah kutemui. Dan aku beruntung, dapat menjalin hubungan asmara dengannya.Â
Dua bulan setelah Aiko kembali ke Jepang. Aku menandatangani kontrak untuk bekerja satu tahun di kapal pesiar. Mengarungi Eropa dan berlayar kembali ke Bali.Â