"Kang, simpan senapan itu. Bergabunglah bersama tentara republik atau laskar. Kita masih akan terus berjuang!" ucapnya.Â
Kebingungan masih mendera. Bukankah kita sudah merdeka. Namun kenapa orang-orang masih khawatir akan hari depan. Benarkah Belanda akan kembali menguasai negeri ini.Â
Malam sebelum proklamasi terdengar di radio Domei di Jakarta. Aku sudah lebih dahulu merayakan kemerdekaan. Meski serdadu Dai Nippon masih melakukan patroli. Namun kami lebih berani melakukan perlawanan.
Bahkan sebilah katana dan bayonet kuambil sebagai mas kawin untuk menikahi Aminah. Dua minggu setelah kembali dari Rengasdengklok. Aku meminangnya dan berniat membawanya pulang kampung.Â
Namun teman-teman laskar mengajakku pergi ke Surabaya. Katanya tentara sekutu sudah tiba di sana dan akan membebaskan tawanan orang Belanda. Itulah hari pertamaku naik kereta api.Â
Hari itu bulan November, aku terjebak di tengah pertempuran melawan tentara Britania Raya. Dua tank baja terhenti dihantam granat milikku. Ternyata tentara asing yang kami serang, bukan hanya tentara-tentara berkulit putih.Â
Kami pun mundur ke utara. Bergabung bersama lautan pejuang yang siap mati syahid. Namun setelah kami menembak jatuh sebuah pesawat pengintai mosquito milik sekutu, kabar dari Aminah yang sakit keras memaksaku meninggalkan pertempuran.Â
Proklamasi yang dibacakan Bung Karno masih tertanam di dada. Pidato Bung Tomo masih berdengung di telinga. Hingga tahun berganti. Penjajah masih bercokol di Indonesia. Tentara-tentara Britania Raya belum pergi. AFNEI dan NICA kian kokoh.Â
"Kita masih akan terus berjuang!" Kata-kata di malam sebelum proklamasi itupun muncul kembali.Â
Aminah sudah sembuh. Ia berjualan karedok di sekitar stasiun. Aku menolak bergabung dengan tentara republik. Memilih bertahan dengan laskar lokal untuk berjuang melawan penjajah.Â
Kami hidup susah, tapi bahagia. Belum bisa pulang kampung. Namun masih bisa menabung untuk sekadar modal membeli bibit. Tanah dan ladang tak akan kemana.Â