Kepalaku menoleh keluar badan truk. Dan baru kusadari, beberapa rumah sudah mengibarkan bendera merah putih. Hari ini seperti hari baru. Hari terindah dalam hidupku.Â
"Berarti besok serdadu Nippon bakal pergi, Kang?" aku bertanya pada anggota laskar di depanku. Ia sama takjubnya denganku.Â
"Belum tentu, yang pasti orang-orang Eropa akan datang sebentar lagi."Â
Seketika aku membayangkan kehidupan sebelum tentara Dai Nippon datang menyerang. Status sosial di pilah-pilah berdasarkan warna kulit, warna darah dan jumlah duit. Lapisan paling bawah dan mengerak itu adalah aku. Jelata dan pesuruh. Â
Kukira saat Dai Nippon mengusir Belanda, mereka berniat membebaskan kami dari penjajahan bangsa Eropa. Namun kenyataannya tidak demikian. Malah lebih buruk dan menderita.
Pakaian terbaik yang kumiliki di zaman Jepang hanyalah kaos yang terbuat dari karung bekas terigu dan sebuah celana pendek.
Bila orang-orang Belanda mengambil paksa tanah dan ladang milik keluarga kami. Maka Jepang menguasainya untuk bekal perang mereka di Pasifik. Orang sepertiku hanya jadi tumbal.Â
"Tak sudi! Kita bisa berdiri sendiri!" aku berteriak saat tersadar dari lamunan. Mereka tertawa melihat tingkahku yang seperti orang ketakutan.Â
Kami turun dari truk dengan bersemangat. Pekikan "Merdeka" menggema di setiap sudut. Dan kami pun berpisah setelah upacara penurunan bendera kekaisaran Jepang selesai.
Hari itu, sebelum teks proklamasi dibacakan Bung Karno di Jakarta. Sukacita menyambut perayaan kemerdekaan Indonesia di Rengasdengklok. Seakan-akan hari esok akan lebih cerah.Â
Kuhampiri lelaki berkumis tebal di depanku. Ia sepertinya keturunan menak atau bangsawan, karena memakai baju bagus. Lengkap dengan bendo dan keris di pinggang. Niatku ingin menjual senapan. Untuk modal berkebun di Limbangan.Â