"Demi Tuhan, saya tidak membunuh Mbah Suro!"Â
Barry tidak ingin kliennya lebih tertekan. Iapun menyudahi segala pertanyaan. Semakin berat melihat peluang di meja hakim.Â
Persidangan nanti takkan berjalan sesuai harapan. Tanpa kehadiran orang lain di tempat kejadian perkara, semuanya akan menjadi sia-sia.Â
Barry menatap dalam-dalam mata Kirman, kemudian ia berkata, "bila kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, bagaimana saya dapat membela kamu?"Â
Ia berharap, bapak tua itu mengatakan hal yang sebenarnya. Dan benar saja, seketika Kirman terlihat gelisah. Ia menjadi salah tingkah, sembari menelan ludahnya.Â
"Ya, saya memang berniat membunuhnya!"Â
Kirman mulai bercerita, mengeluarkan semua kisah di masa lalu yang selama ini tertutup rapat. Layaknya pengakuan dosa.Â
Dua belas tahun yang lalu, saya datang ke rumah Mbah Suro. Meminta pengasihan untuk bekal mencalonkan diri sebagai lurah. Dia mau menolong dengan syarat, saya harus membantu menyingkirkan seorang dukun saingannya di dusun Winangun.Â
Tugas saya hanya menghembuskan fitnah. Mengumpulkan massa dan mengusir dukun itu dari dusun. Namun kenyataannya di luar dugaan. Mbah Suro memprovokasi massa. Mereka bertindak keji dengan membakar rumah sang dukun. Dengan satu keluarga terkurung di dalamnya.Â
Dua kali pemilihan kepala desa, dan saya tak kunjung jadi lurah. Saya kesal dan malam itu hendak pergi membuat perhitungan. Namun saat tiba di rumahnya, Mbah Suro sudah tewas terbunuh.Â
Di dinding kamar tempat Mbah Suro tewas, ada sebuah ancaman kepada saya. Ditulis dengan darah. Karena panik, saya buru-buru menghapus ancaman itu dengan tangan.
Dan saya menduga, makhluk keji yang menghabisi Mbah Suro dan mengancam saya, adalah hantu dari dukun yang kami fitnah dahulu. Dia tengah menuntut balas.