Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Peran Pengganti

29 Juli 2021   11:00 Diperbarui: 29 Juli 2021   11:04 703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pria berdiri di depan kobaran api (Foto: StockSnap Via Pixabay)

Rembulan bersinar sendu di balik awan kelabu. Seorang lelaki tertunduk lesu di bangku taman. Kedua matanya sembab. Desah nafas berhembus tak beraturan. Dalam dada menyimpan bara. Urat-urat di leher, mengeras bersama kepalan tangan. 

Di beranda pengadilan, dua advokat muda tengah berbincang. Mengatur strategi pada kasus yang mereka tangani. Dua kali gelaran sidang, dilewati tanpa titik terang. Hingga Merekapun berpisah di pelataran. 

"Aku tak percaya, mana ada hantu bisa membunuh orang!" 

Barry resah mengurai fakta dan cerita. Menautkan analisa pada rangkaian pasal-pasal dalam kitab hukum pidana. Mengejar waktu putusan. Kasus telah berjalan lebih dari dua bulan.

Meskipun kantuk menghujam mata, Barry belum rela menutup berkas-berkas di meja kerja. Ia sangat yakin, Kirman kliennya, bukanlah pelaku pembunuhan Mbah Suro. 

Keterangan absurd dari bibir Kirman, tentang hantu dan tujuan kedatangannya di tempat kejadian perkara, menyisakan tanda tanya. 

Kirman terus berkilah, bahwa ia melihat hantu membunuh Mbah Suro dengan sepotong besi runcing. Sedangkan ia tidak memiliki alasan untuk melakukan perbuatan keji tersebut. 

Namun bercak darah di baju dan tangan, menambah berat pekerjaan Barry. Ditambah kenyataan, bahwa tak ada saksi lain di lokasi.

Kirman tidak mungkin melihat pembunuh Mbah Suro. Ia bahkan tidak dapat menggambarkan, seperti apa rupa pelaku. 

Dan omong kosong soal hantu, mungkinkah ia sebodoh itu. Untuk apa Kirman datang ke tempat Mbah Suro?

Barry akhirnya terpejam di batas malam. Ia tertidur di meja kerja. Rangkaian asumsi dan argumentasi, ikut terseret ke dalam mimpi. 

"Demi Tuhan, saya tidak membunuh Mbah Suro!" 

Barry tidak ingin kliennya lebih tertekan. Iapun menyudahi segala pertanyaan. Semakin berat melihat peluang di meja hakim. 

Persidangan nanti takkan berjalan sesuai harapan. Tanpa kehadiran orang lain di tempat kejadian perkara, semuanya akan menjadi sia-sia. 

Barry menatap dalam-dalam mata Kirman, kemudian ia berkata, "bila kamu tidak mengatakan yang sebenarnya, bagaimana saya dapat membela kamu?" 

Ia berharap, bapak tua itu mengatakan hal yang sebenarnya. Dan benar saja, seketika Kirman terlihat gelisah. Ia menjadi salah tingkah, sembari menelan ludahnya. 

"Ya, saya memang berniat membunuhnya!" 

Kirman mulai bercerita, mengeluarkan semua kisah di masa lalu yang selama ini tertutup rapat. Layaknya pengakuan dosa. 

Dua belas tahun yang lalu, saya datang ke rumah Mbah Suro. Meminta pengasihan untuk bekal mencalonkan diri sebagai lurah. Dia mau menolong dengan syarat, saya harus membantu menyingkirkan seorang dukun saingannya di dusun Winangun. 

Tugas saya hanya menghembuskan fitnah. Mengumpulkan massa dan mengusir dukun itu dari dusun. Namun kenyataannya di luar dugaan. Mbah Suro memprovokasi massa. Mereka bertindak keji dengan membakar rumah sang dukun. Dengan satu keluarga terkurung di dalamnya. 

Dua kali pemilihan kepala desa, dan saya tak kunjung jadi lurah. Saya kesal dan malam itu hendak pergi membuat perhitungan. Namun saat tiba di rumahnya, Mbah Suro sudah tewas terbunuh. 

Di dinding kamar tempat Mbah Suro tewas, ada sebuah ancaman kepada saya. Ditulis dengan darah. Karena panik, saya buru-buru menghapus ancaman itu dengan tangan.

Dan saya menduga, makhluk keji yang menghabisi Mbah Suro dan mengancam saya, adalah hantu dari dukun yang kami fitnah dahulu. Dia tengah menuntut balas.

"Bukan! Hantu yang kamu maksud, adalah perbuatanmu di masa lalu!" ucap Barry, seraya berlalu. 

Barry membuka layar laptop, ia mencari berita lama tentang tragedi kebakaran dan pembunuhan satu keluarga di dusun Winangun. Mencari data korban. Menyusuri laman demi laman. 

"Keluarga itu tidak meninggal seluruhnya! Di saat kejadian, anak sulungnya tengah bekerja di Jakarta!"

Kirman memang bajingan. Namun untuk kasus yang tengah dihadapi, ia jelas tidak bersalah. Haruskah kasus lama ia ungkap kembali. Bukankah segala cara harus dilakukan. 

Meski melepaskan seorang penjahat keji dari jerat hukum di pengadilan, bukanlah sebuah prestasi. 

Barry tak mau mengelabui hukum, dan tidak pula menempatkan kliennya sebagai peran pengganti. Hanya karena, pembunuh sebenarnya belum terungkap. Namun kali ini, ia punya senjata pamungkas. 

"Akhirnya, sidang penghabisan!"

Kirman merasa gelisah, pikiran tak tenang. Ketakutan seketika muncul dalam hatinya. Dan Iapun menatap lirih pada petugas, yang melangkah tergesa-gesa ke arah sel untuk menjemput dirinya. 

Dua bulan dalam tembok derita, kini ia harus menghadapi sidang ketiga. Harapannya digantungkan pada lidah pengacara di ruang pengadilan. 

Pintu teralis terbuka, Kirman dipersilahkan beranjak. Dengan langkah gontai ia menyongsong petugas yang menanti di luar. 

"Aaaarghh!" 

Pekik kesakitan Kirman terhenti dalam bekapan tangan petugas. Hingga desis dari mulutnya tak terdengar lagi. Besi runcing masih menancap di leher yang bersimbah darah. 

"Hutang nyawa dibayar nyawa!"

Bapak tua itu ambruk ke lantai, tepat di depan sel yang mengurung tubuh dan jiwanya. Dan batinnya yang tersiksa dosa-dosa di masa lalu. 

Derap langkah kaki mengalun semakin jauh. Terlihat seragam petugas dilempar ke lantai yang tergenang darah segar. Dan sesosok lelaki, berlari keluar ruangan menuju pintu belakang. 

Dan iapun menghilang, bersama gumpalan asap mengepul dengan api berkobar-kobar.

Kepanikan akhirnya memasuki ruang sidang. Bunyi alarm kebakaran berdengung keras tanpa henti. Namun yang lebih mengagetkan Barry, adalah berita kematian Kirman. 

Tangannya gemetar membereskan berkas di atas meja. Ia tak dapat berpikir jernih, meski tetap berusaha tenang. Dalam hatinya mengutuk seseorang yang telah melepaskan Kirman dari hukuman pengadilan. Dan orang itu, bukanlah dirinya. 

Di ruang pengap di sudut bangunan pengadilan. Seorang lelaki berbadan kekar, berambut tipis, meronta-ronta dan berusaha melepaskan ikatan. Ujung tali yang melilit di tubuhnya, sudah mulai terbakar. 

Entah nasib baik atau nasib buruk, harus dihabiskan dalam satu tegukan. Pada satu putaran kehidupan.

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun