Potret wajah Ibu dikalungkan salib, yang biasa dipakai mendiang semasa hidup. Bersanding potret Bapak di Jabal Rahmah, sewaktu melaksanakan ibadah umrah.Â
Dan potret diriku bersama adik, berpose menggunakan baju kodok di pelataran candi Borobudur. Dan terbayang keceriaan kami saat itu.
Masa-masa kecil itu tak akan terulang, hari-hari penuh kebahagiaan dan tawa. Hingga Tuhan mengambil Ibu ke surga, kemudian semuanya terasa berbeda.Â
Aku belum cukup paham perihal kematian Ibu. Namun yang pasti, mendiang dilarikan ke rumah sakit setelah kecelakaan. Bapak menjemput kami ke sekolah. Dan di hari itu, pertama kali aku melihat Bapak menangis.
Dan sejak saat itu, Bapak menyerahkan seluruh waktunya untuk mengurus kami. Beliau rela melepaskan jabatan tinggi di perusahaan besar, lalu memilih bekerja di dekat rumah.Â
Menghabiskan seluruh tabungan dan investasi untuk memastikan pendidikan kami. Sejuta kebaikan dan cinta tanpa kata-kata. Bapak telah mencurahkan kasih sayang dengan perbuatan.Â
Tatapanku tertuju pada almanak lusuh yang digantung di depan kamar. Waktu terhenti di dalamnya. Sebuah tanggal dilingkari di bulan Juli. Dan tanpa terasa, air mata ini mengalir sendiri.Â
Di hari itu, seharusnya kami sekeluarga pergi berlibur. Bapak selesai mengajukan cuti, dan Ibu sudah memesan tiket pesawat terbang.Â
Mereka menabung bertahun-tahun untuk dapat pergi ke Italia. Bagi ibu, tujuannya ke Vatikan. Sedangkan bagi Bapak, beliau ingin menyusuri Venesia bersamanya.Â
"Ini loh, yang ingin dikunjungi bapakmu," ungkap Ibu, seraya menunjukkan kartu pos bergambar sebuah gondola yang tengah menyusuri kanal di Venesia.Â
"Baju tukang perahu itu mirip tukang sate, ya Bu."