Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Senyum untuk Bapak

25 Juli 2021   11:33 Diperbarui: 1 Agustus 2021   02:12 1764
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gondolier memandu gondola di Venesia (gambar: ArtTower Via Pixabay)

Sudah lama sekali aku tidak melihat Bapak tersenyum. Dua puluh tahun sejak kepergian Ibu, luka itu masih membekas. Hari-hari dihabiskan mengurus kebun. Dan interaksi dengan kami, sekedarnya saja. Namun aku tahu, beliau mencintai anak-anaknya. 

Senyuman terakhir Bapak masih terkenang. Suatu petang di hari senin, beliau pulang ke rumah dan langsung memeluk Ibu. Aku yang baru pulang bermain dan belum sempat mandi, turut mendapat pelukan. 

Tangannya mengapit secarik kupon. Undian berhadiah uang, dan kupikir saat itu besar nilainya. Bapak menang SDSB, undian resmi pemerintah. 

Katanya, akulah yang berhasil menebak nomor keberuntungan. Padahal saat itu, aku sedang belajar soal ujian matematika. 

"Bagaimana kabar adikmu, Le?"

Bapak tengah mengasah mata cangkul. Meskipun melihatku datang, beliau tak menghentikan aktivitasnya. 

Di balai bambu di halaman belakang rumah, tempatnya biasa melepas lelah. Ditemani segelas kopi hitam dan asbak penuh puntung. 

"Tahun ini Dinda belum bisa pulang ke Indonesia. Dia titip salam buat Bapak," jawabku. 

Semilir angin menyapa dari balik dedaunan. Obrolan kami hanya sejumlah hitungan jari. Beliau menyongsong terik mentari dan turun ke kebun. 

Pandanganku beralih pada suasana rumah yang masih sama. Dinding di ruang tengah, berhias potret usang kami sekeluarga. Ibu, Bapak, aku dan adik perempuanku. Meski pantulannya kian pudar.

Potret wajah Ibu dikalungkan salib, yang biasa dipakai mendiang semasa hidup. Bersanding potret Bapak di Jabal Rahmah, sewaktu melaksanakan ibadah umrah. 

Dan potret diriku bersama adik, berpose menggunakan baju kodok di pelataran candi Borobudur. Dan terbayang keceriaan kami saat itu.

Masa-masa kecil itu tak akan terulang, hari-hari penuh kebahagiaan dan tawa. Hingga Tuhan mengambil Ibu ke surga, kemudian semuanya terasa berbeda. 

Aku belum cukup paham perihal kematian Ibu. Namun yang pasti, mendiang dilarikan ke rumah sakit setelah kecelakaan. Bapak menjemput kami ke sekolah. Dan di hari itu, pertama kali aku melihat Bapak menangis.

Dan sejak saat itu, Bapak menyerahkan seluruh waktunya untuk mengurus kami. Beliau rela melepaskan jabatan tinggi di perusahaan besar, lalu memilih bekerja di dekat rumah. 

Menghabiskan seluruh tabungan dan investasi untuk memastikan pendidikan kami. Sejuta kebaikan dan cinta tanpa kata-kata. Bapak telah mencurahkan kasih sayang dengan perbuatan. 

Tatapanku tertuju pada almanak lusuh yang digantung di depan kamar. Waktu terhenti di dalamnya. Sebuah tanggal dilingkari di bulan Juli. Dan tanpa terasa, air mata ini mengalir sendiri. 

Di hari itu, seharusnya kami sekeluarga pergi berlibur. Bapak selesai mengajukan cuti, dan Ibu sudah memesan tiket pesawat terbang. 

Mereka menabung bertahun-tahun untuk dapat pergi ke Italia. Bagi ibu, tujuannya ke Vatikan. Sedangkan bagi Bapak, beliau ingin menyusuri Venesia bersamanya. 

"Ini loh, yang ingin dikunjungi bapakmu," ungkap Ibu, seraya menunjukkan kartu pos bergambar sebuah gondola yang tengah menyusuri kanal di Venesia. 

"Baju tukang perahu itu mirip tukang sate, ya Bu."

Ibu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapanku. Dan tawa itu, adalah kerinduan yang tak pernah dapat kuraih kembali. 

"Bapak sudah selesai, ayo berangkat." 

Dan lamunanku selesai. Kedatanganku ke rumah, untuk membawa Bapak pergi berlibur. Menggenapi mimpi yang tertunda bertahun-tahun lamanya.

Meski rasanya tak akan sama. Namun hanya itulah yang dapat ku usahakan, untuk melihat kembali senyuman Bapak. 

Di St. Mark’s Square, Bapak berbincang dengan salah satu gondolier. Dan kamipun akhirnya menyusuri kanal melewati Rialto Bridge. Hatiku lega, beliau tersenyum dan terlihat bahagia. 

"Bapak merasa, ibumu tengah bersama kita."

Hatiku remuk, saat melihat beliau memeluk erat potret mendiang Ibu di dadanya. Bapak menunduk menyembunyikan air mata. Di atas gondola. Hingga isak tangisnya pecah, saat kami tiba di Grand Canal. 

Bila sebuah kisah cinta tak pernah lekang oleh waktu. Begitupun dengan kebaikan dan kasih sayang orangtua yang tak terhingga. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata. 

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun