Namun, ini baru awal. Dania benar-benar khawatir, sesuatu yang lebih buruk akan menimpa mereka. Tak ada jaminan keamanan di sini. Mereka harus berjuang keras untuk bertahan hidup dan menjalani pekerjaan.Â
"Penghubung kita di Meksiko memberi kabar gembira, Dania!" teriak Frans dari kamar mandi.Â
"Apa? Peluang masuk ke US?" tanya Dania.Â
Frans melilitkan handuk di tubuhnya, dan melangkah keluar kamar mandi. Ia kembali tersenyum. Menatap nakal Dania yang masih berkutat dengan masakan.Â
"Bukan, tapi sesuatu yang lebih keren," jawab Frans.Â
Frans memeluk Dania dari belakang dan mulai berbisik mesra, "kau terlihat lebih cantik hari ini, Sayang. Kau tahu, harapan kita semakin dekat. Indonesia, Amerika dan Eropa."Â
"Pisau ini tajam, Frans. Tolong kendalikan tanganmu!" seru Dania, seraya mengangkat tinggi-tinggi pisau dapur di tangannya.Â
"Não me empurre, bastardo!"
Dua hari kemudian, mereka mengantri masuk ke pelabuhan. Kapal api menuju Singapura akan berangkat kurang dari setengah jam. Para penumpang berdesak-desakan di titian memasuki geladak.Â
Dania dan Frans sepakat untuk menerima tawaran menjalankan tugas jurnalistik dan aksi propaganda untuk proses demokratisasi. Isu-isu tentang pengaruh perang dingin di Indonesia pecah, setelah adanya upaya kudeta oleh basis-basis militer di Sumatera.
Dan perjanjian kontrak untuk memperoleh kewarganegaraan Amerika Serikat setelah menuntaskan tugas. Tentunya, Frans dan Dania tak punya alasan untuk menolak.Â
Hari itu, Dania mencari-cari Frans di anjungan kapal. Turun ke geladak dan tak menemukannya di sana. Jangkar kapal belum diangkat. Iapun khawatir, bila Frans mendadak turun dari kapal dan membiarkan dirinya berangkat sendirian.