Viola!
Dania menghempaskan diri ke lantai dansa. Frans menyambut tubuh ramping bergaun merah muda itu dengan gembira. Pesta di akhir pekan. Malam gemerlap di sebuah bar di sudut kota Rio De Janiero. Â
Bossa nova, samba dan cha-cha, tanpa henti menghentak jiwa-jiwa muda dan melempar mereka pada gairah. Para penari berkostum karnaval memesan bir sembari bergoyang. "Campeão!" bergema sepanjang malam. Hingga pagi menjelang.Â
Malam itu, Seleção memastikan gelar juara dunia sepakbola 1958 di Swedia. Tendangan keras Pelé ke gawang kiper Kalle Svensson, memecah teriakan histeris di seantero kota. Bermil-mil jauhnya di selatan Amerika.Â
Puluhan orang merangsek masuk ke dalam bar, dan memaksa Frans menghentikan tarian. Ia membawa Dania menembus penuh sesak kerumunan. Membaur dalam parade yang mengular di sepanjang Barra da Tijuca.Â
Dania dan Frans terhuyung-huyung berjalan di lorong pertokoan. Mereka saling menopang satu sama lain. Keluar dari lautan pemabuk dan parade tarian kemenangan di sepanjang jalanan kota.Â
"Apa yang kita rayakan, sayang?" tanya Dania.Â
"Kesenangan," jawab Frans.Â
Frans merebahkan dirinya di sofa. Menarik dan menjatuhkan Dania ke dalam pelukan. Belum sempat Frans mendaratkan kecupan, Dania berbalik dan menarik tubuh Frans, menuntun paksa ke arah ranjang.Â
Pesta belum usai. Sayup-sayup chants di jalanan kota. Pemabuk tersungkur di tembok kusam yang berlukiskan mural wajah Pelé. Sementara di sebuah kamar apartemen murahan, Frans dan Dania tengah memulai pesta kemenangannya sendiri.Â
Matahari melintas tepat di atas debur ombak Copacabana. Segaris sinar yang menembus melalui kaca jendela, dan membangunkan Dania. Ia menatap ke sekeliling dan tidak menemukan Frans di sana. Maka iapun kembali berbaring dan melanjutkan tidurnya.Â