Lagipula orangtuaku di kampung, lebih senang aku membawa pulang mobil BMW daripada calon menantu.Â
"Ayolah, Mira"
Aku berdiri di depan pintu. Berharap ia mengerti dan lekas pulang bersamaku. Tak perlu ada cerita malam ini. Dan aku tak ingin ia menyesal, bila harus membuat cerita denganku di kamar ini. Iapun bangkit.Â
"Kamu mau jadi pacarku, Jono?" pertanyaan itu terucap lagi malam ini. Membuatku lemas tak berdaya. Haruskah aku masuk dan menutup pintu. Kemudian memberikan jawaban lewat sebuah ciuman. Tidak.
Kuraih tangan Mira dan mendekatkan tubuhnya padaku. Ku pandang kedua bola matanya yang sayu. Tak ada cinta di sana.Â
Ketika tangannya mencoba memelukku. Kukemas seluruh hasrat liar itu. Kutarik Mira ke depan pintu. Dan kamipun pergi meninggalkan iblis yang tengah menepuk dahi.Â
"Kamu tak perlu repot-repot jadi pacarku."Â
Hanya kalimat ini yang bisa kuucapkan untuk menutup malam.Â
Di Jagakarsa, kami menjaga karsa dan rasa yang menghilang di balik malam. Mira harus belajar menemukan jawaban atas kegelisahannya sendiri.Â
Mungkin setelah itu, aku yang akan datang memintanya bersandar. Bukan malam ini. Ia memelukku sepanjang jalan hanya karena kedinginan.Â
Hidup tak melulu soal cinta. Karenanya nama-nama mantan, tak pernah dicatat dalam Curiculum Vitae.
**