Mira pasti baru putus. Minggu kemarin ia bercerita, kedekatannya dengan seorang lelaki di cafe di depan kampus. Nada-nada minor dari petikan gitar si lelaki telah menggetarkan hatinya.
Ternyata ia belum belajar dari kesalahan. Meski kecewa, aku dibuatnya penasaran. Namun, waktunya tak tepat. Delapan belas menit lagi, jarum jam menusuk angka dua belas. Hari ini akan berakhir. Dan alarm tanda bahaya akan berbunyi.Â
Detak jantungku semakin cepat. Naluri memacu adrenalin melewati batas. Cuaca mendukung. Â Kami hanya berdua di dalam kamar. Iblis di belakang kami, duduk menyilangkan kaki.Â
Tanganku menghapus sisa-sisa air matanya. Ia menarik jemariku ke dalam genggaman mesra. Hingga aku menarik nafas. Memberikan segaris senyuman. Dan melepaskan genggaman itu dengan lembut.Â
"Tak ada teh hangat. Kopi sudah habis. Pulanglah, hujan sudah reda. Biar kuantar."
Aku mengambil sweater dari dalam lemari dan memakaikan padanya. Meraih pundaknya dan menuntun keluar kamar. Namun Ia tak bergeming. Ia terduduk bersandar di tembok kamarku. Ia tertunduk lesu.Â
"Aku mau cerita, Jono," ucapnya lirih.Â
"Besok saja. Tidur lebih baik saat ini," jawabku.Â
Mira pernah bertanya, apakah aku mau menjadi pacarnya. Dan saat itu, aku tak menjawab apapun.Â
Padahal dalam hati berkata, aku tak mungkin bisa menolak. Wajah cantik, kepribadian menarik. Ditambah prestasi akademik yang ciamik. Kami sudah saling mengenal cukup dalam.Â
Namun kami jelas berbeda prinsip. Aku tak pernah berhasrat untuk menjalin hubungan serius, sebelum ijazah sarjana teknik kubawa pulang dan melemparkannya pada meja personalia di perusahaan ternama.Â