NEGARA ini terdiri dari berbagai suku bangsa, bahasa dan adat-istiadat. Di bawah cengkraman Garuda, tertulis semboyan yang berbunyi, "Bhineka tunggal Ika." Artinya, Berbeda-beda tetap satu.Â
Pancasila, dasar negara dan pedoman bernegara yang kadang kita abaikan maknanya.Â
Hari lahir Pancasila diperingati setiap tanggal 1 Juni. Mengambil momentum sidang BPUPKI pada tahun 1945. Pidato Bung Karno, memperkenalkan Pancasila sebagai jati diri bangsa Indonesia.Â
Bangsa yang lahir dari persatuan suku bangsa di Nusantara, tanpa menghilangkan identitas suku-suku bangsa yang bersatu di bawah Sang Saka Merah Putih.Â
Pancasila bukan sekedar "oleh-oleh" presiden Soekarno sepulang dari Ende. Melainkan sebuah kesepakatan yang lahir dari ruang diskusi panjang bersama tokoh-tokoh politik, agama dan kebudayaan.Â
Definisi Indonesia dan Pancasila, bahkan dapat diejawantahkan dalam kajian kebudayaan masing-masing suku bangsa. Karena sebagai ideologi terbuka, Pancasila bisa menyesuaikan diri menghadapi berbagai zaman tanpa harus mengubah nilai fundamentalnya.
Benang merahnya tentu saja keutuhan negara, dan hidup berdampingan dalam perbedaan dengan damai. Tentu hal ini diselaraskan dengan Ketetapan MPR No.I/MPR/ 2003, yang memuat penjelasan butir-butir Pancasila.
Pada peringatan tahun ini, pemerintah melalui BPIP mengambil tema, "Pancasila dalam tindakan, bersatu untuk Indonesia tangguh."
Lantas, seberapa tangguh kita untuk mempertahankan Pancasila? Dan bagaimanakah tindakan yang Pancasilais itu?Â
Hari ini, sebagian kita akan memanggil anak-anak kita ke muka dan memintanya untuk membacakan ke-lima sila dalam Pancasila. Bagi sang anak, hal itu sebuah bentuk dikte yang biasa dilakukan di sekolah.Â
Hafalan urutan Pancasila di luar kepala. Namun, apakah cukup menjamin sang anak mengerti maksud dari setiap sila yang diucapkan? akankah mereka menghentikan perlakuan buruk pada teman-temannya yang berbeda agama, logat bahasa, dan warna kulit.Â
Sementara itu, sila ke-lima yang berbunyi, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," belum dirasakan sepenuhnya.Â
Namun, sebelum melontarkan pertanyaan untuk orang lain. Apakah pernah, kita melakukan otokritik dalam kehidupan bernegara yang sesuai tuntunan Pancasila.
Misalnya, berapa kali kita mengarahkan telunjuk pada orang lain yang berbeda, baik agama, bahasa dan pandangan hidup pribadi.Â
Bertindak menghakimi, menuduh, memprotes dan memaki. Padahal sebagian besar masalah yang timbul, hanya soal persepsi bukan persuasi politik. Dan kadang, tidak ada sangkut pautnya dengan soal perpecahan negara.Â
Sebagian kita masih sibuk meluruskan pandangan sesama warga negara dalam menilai suatu peristiwa, kebijakan, fenomena dan dampak sosialnya di masyarakat.Â
Media sosial menjadi kambing hitam dalam polarisasi yang terjadi di masyarakat setiap pemilu di Indonesia. Padahal algoritma media di sesuaikan dengan minat individu dalam mengais informasi publik. Tak ayal, dampaknya masih terjaga sampai saat ini.
Seseorang yang memutuskan tinggal di perumahan khusus agama tertentu, akan dicap sebagai orang-orang intoleran.Â
Begitupun berlaku bagi orang-orang yang memberikan ucapan hari besar agama lain, bahkan memasuki rumah ibadah agama lain. Meskipun tanpa tujuan religius, tetap akan dicap sebagai orang-orang dengan tingkat toleransi yang kebablasan.Â
Padahal jika merujuk pada sila ke-dua, yakni "kemanusiaan yang adil dan beradab." Maka sungguh tindakan tidak adil, menghakimi pilihan seseorang tanpa pedoman hukum. Dan tidak beradab melontarkan umpatan dan kata-kata makian untuk sebuah perbedaan.Â
Justru kita yang menyadari keberagaman adalah indah, harus memberikan kesan baik. Bahwa hidup berdampingan dengan damai dalam perbedaan, lebih nyaman daripada terkurung dalam keseragaman.Â
Bila masyarakat masih berkutat pada kata "toleransi" dan "intoleransi," bagaimana kita dapat mengamalkan Pancasila dalam tindakan dan aktivitas sehari-hari.Â
Kadang, orang terlalu melangit bicara soal kehidupan bernegara dan cara mengamalkan Pancasila. Sampai lupa, bahwa semua harus dimulai dari rumah dan kehidupan bertetangga. Sesuatu yang besar, dimulai dari langkah-langkah kecil.Â
Dimulai dari menjaga keharmonisan dan tenggang rasa dalam bertetangga. Hidup berdampingan dengan damai dalam masyarakat yang majemuk, membuktikan bahwa Pancasila masih relevan dalam sendi kehidupan bangsa Indonesia.
Suatu ketika, saya pernah menegur tetangga yang membiarkan anaknya yang masih dibawah umur untuk mengendarai sepeda motor. "Hei, kasih ijin anakmu pakai motor itu sama halnya kasih pistol. Dia bisa bikin celaka orang lain dan dirinya sendiri, loh."Â
Bayangkan jika saya mengucapkan teguran itu dengan nada memaki, marah, dan disertai umpatan. Tentu saja akan terjadi keributan, bahkan perkelahian. Namun, bila diucapkan dengan santai dan niat saling menjaga. Tentu, akan diterima dengan hati terbuka. Minimal didengarkan dengan baik.Â
Bukan masalah apa yang kita sampaikan, tetapi bagaimana sikap dan cara penyampaian. Sejauh mana penerimaan akan perbedaan, dan sejauh mana kita saling menghormati. Maka masalah apapun, akan dapat diatasi dengan baik.Â
Tidak semua orangtua sadar akan bahaya dari perilaku yang dianggap "biasa," dapat berakibat kurang baik bagi anak-anak. Sama halnya dengan menilai pendidikan kewarganegaraan, bukan sekedar soal hafalan sila semata. Lebih parah, banyak orangtua yang bahkan tidak peduli tingkat pengetahuan anak-anak tentang Pancasila. Terlalu!
Bila kita termasuk orangtua yang bangga dengan hafalan Pancasila anak-anak kita. Maka rasa kebanggaan anak-anak kita pun, harus tumbuh dengan perilaku orangtua di lingkungan terdekat. Dengan demikian, nilai-nilai sila yang dihafal akan menemukan teladan.
Dapat dibayangkan, saat anak-anak mengisi soal ujian kewarganegaraan. Misalkan dengan pertanyaan, Sebutkan contoh kerukunan beragama sesuai nilai-nilai Pancasila?Â
Belum sempat ia mengisi, ia melihat ayahnya mengikuti demo menolak pembangunan rumah ibadah. Padahal, banyak tetangganya akan beribadah di sana dan prosedur hukum telah dilalui.
Hal itupun menempatkan sang anak dalam dilema. Teks dari buku mata pelajaran yang ia terima, tidak sesuai dengan kenyataan yang dialami.Â
Bila tindakan seperti contoh di atas sangat jauh dari keseharian kita. Kemudian, cukup tangguhkah kita menolak pengaruh narasi kebencian dari pihak-pihak tertentu? Dan cukup tangguhkah kita menerima perbedaan di sekitar kita, tanpa harus memandang suku, ras dan agama?Â
Sementara dorongan egosentris dan pemahaman buta, akan membuat jemari kita gatal-gatal dan tergoda untuk mengumpat di media sosial.Â
Semoga dua hal itu, dapat kita jawab dengan tindakan positif. Dengan begitu, tema peringatan hari lahir Pancasila di tahun ini akan lebih bermakna.Â
"Selamat Memperingati Hari Lahir Pancasila."
**
Referensi:
- bpip.go.id
- kompas.com
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H