Sementara itu, sila ke-lima yang berbunyi, "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia," belum dirasakan sepenuhnya.Â
Namun, sebelum melontarkan pertanyaan untuk orang lain. Apakah pernah, kita melakukan otokritik dalam kehidupan bernegara yang sesuai tuntunan Pancasila.
Misalnya, berapa kali kita mengarahkan telunjuk pada orang lain yang berbeda, baik agama, bahasa dan pandangan hidup pribadi.Â
Bertindak menghakimi, menuduh, memprotes dan memaki. Padahal sebagian besar masalah yang timbul, hanya soal persepsi bukan persuasi politik. Dan kadang, tidak ada sangkut pautnya dengan soal perpecahan negara.Â
Sebagian kita masih sibuk meluruskan pandangan sesama warga negara dalam menilai suatu peristiwa, kebijakan, fenomena dan dampak sosialnya di masyarakat.Â
Media sosial menjadi kambing hitam dalam polarisasi yang terjadi di masyarakat setiap pemilu di Indonesia. Padahal algoritma media di sesuaikan dengan minat individu dalam mengais informasi publik. Tak ayal, dampaknya masih terjaga sampai saat ini.
Seseorang yang memutuskan tinggal di perumahan khusus agama tertentu, akan dicap sebagai orang-orang intoleran.Â
Begitupun berlaku bagi orang-orang yang memberikan ucapan hari besar agama lain, bahkan memasuki rumah ibadah agama lain. Meskipun tanpa tujuan religius, tetap akan dicap sebagai orang-orang dengan tingkat toleransi yang kebablasan.Â
Padahal jika merujuk pada sila ke-dua, yakni "kemanusiaan yang adil dan beradab." Maka sungguh tindakan tidak adil, menghakimi pilihan seseorang tanpa pedoman hukum. Dan tidak beradab melontarkan umpatan dan kata-kata makian untuk sebuah perbedaan.Â
Justru kita yang menyadari keberagaman adalah indah, harus memberikan kesan baik. Bahwa hidup berdampingan dengan damai dalam perbedaan, lebih nyaman daripada terkurung dalam keseragaman.Â
Bila masyarakat masih berkutat pada kata "toleransi" dan "intoleransi," bagaimana kita dapat mengamalkan Pancasila dalam tindakan dan aktivitas sehari-hari.Â