BILA seorang dokter membuka praktek di rumah. Tamu yang datang, belum tentu pasien yang membutuhkan layanan kesehatan. Begitupun dengan penulis, pembaca yang singgah, tak selalu tertarik dengan alur cerita yang ditampilkan atau malah sekedar terjebak pada sebuah judul.
Meskipun sebenarnya, banyak pembaca tidak terlalu membutuhkan "pesan" didalam cerita. Namun tak jarang, rangkaian cerita yang relevan dengan suasana hati pembaca, mampu memberikan dampak.
"Sesuatu yang disampaikan dari hati maka ia pun akan masuk ke dalam hati." (Siyar A’lam An-Nubala': 6/122)
Bagi penulis dengan jam terbang tinggi dan berbakat, mungkin saja jarang mengalami kesulitan dalam mengolah rasa menjadi kata-kata dan rangkaian cerita. Namun, bagi saya sebagey penulis amatir. Ilham, Inspirasi atau sesuatu yang dapat memicu hati, otak dan tangan untuk sepakat menulis rangkaian cerita, sangatlah penting.Â
Dalam menyusun sebuah cerita, saya tak dapat mengabaikan nalar dalam tema, latar dan alur cerita. Meskipun terkadang mengabaikan suasana hati (mood), waktu dan tempat. Dalam hal ini, situasi dan kondisi yang nyaman saat menulis cukup menentukan.Â
Hal itu karena saya tidak terlalu narsis untuk melarutkan kehidupan pribadi dalam cerita yang ditulis. Meski beberapa kata dalam dialog atau percakapan, adalah bahasa yang sering saya dengar dalam keseharian.Â
Terkadang Ilham terhambat tiba, padahal gairah menulis sudah menggebu-gebu. Kondisi tersebut, membuat saya mengidentifikasi solusi yang biasa dilalui saat terjebak dalam hiruk pikuk rutinitas.Â
Berikut cara saya dalam menjemput Ilham, mengolah rasa dan menuangkannya dalam susunan cerita.Â
Berburu Referensi
Sebuah gagasan lahir dari keresahan, dan keresahan harus disuarakan. Namun menulis fiksi bukan hanya menghakimi suatu fenomena dari sudut pandang pribadi.Â
Namun lebih dari itu, karya fiksi semacam rekaman kenyataan yang disajikan dalam kemasan estetika. Hingga, pembaca dari berbagai generasi akan mengambil makna dan bebas menilai gagasan yang tersirat.Â
Bila pada artikel non fiksi, kita dapat menjabarkan opini, analisa, kritik atau bahkan solusi, melalui sudut pandang pribadi maupun berdasarkan referensi terpercaya. Namun, batasan etika akan melekat erat pada setiap kata-kata.
Sedangkan dalam dunia fiksi, kita sebenarnya lebih leluasa untuk menggunakan umpatan paling kasar sekalipun ke dalam rangkaian cerita.
Saya akan mengambil sebuah keresahan yang paling relevan di lingkungan terdekat, untuk menentukan sebuah tema. Kemudian menautkan keresahan tersebut dengan orang-orang di sekitar.Â
Kedai kopi, teras rumah dan balai warga, adalah tempat paling ideal untuk mengambil kisah-kisah menarik. Kita bisa berinteraksi dengan orang-orang dari berbagai latar belakang.Â
Di mana orang-orang berbicara jujur tentang masalah paling sensitif, meskipun belum saling mengenal satu sama lain. Bahkan tak perlu terlibat langsung dalam pembicaraan, mencuri dengar kisah-kisah unik dari meja sebelah, itupun sebuah keberuntungan.
Mengendalikan Keingintahuan
Imajinasi memang tidak ada batasnya. Namun, seberapa sanggup kita menuangkan imajinasi menjadi rangkaian kata-kata yang mudah dimengerti.Â
Seorang teman pernah bertanya, "apakah Malaikat di zaman sekarang masih mencatat dosa dan amal baik?"
Belum sempat saya membuka mulut, ia kembali bertanya, "mungkinkah, mereka sudah menggunakan perekam video atau tekhnologi canggih lain dan tidak lagi mencatat?"Â
Tentu saja, saya tak dapat menjawab pertanyaan absurd seputar hal di luar pengetahuan manusia. Di mana banyak aktivitas lain yang lebih relevan untuk dibahas.Â
Rasa penasaran, terkadang memang menyebalkan. Dan generasi saat ini menyebutnya "kepo." Namun, bukankah seluruh fasilitas yang kita nikmati saat ini adalah hasil dari keingintahuan.
Jangan pernah membatasi keinginantahuan terlebih imajinasi, tetapi kendalikan rasa penasaran itu hanya pada informasi yang ingin kita gali. Kemudian biarkanlah imajinasi bekerja dengan liar.Â
Dengan begitu, akan lebih fokus meniti benang merah dari sebuah kisah yang diceritakan oleh lawan bicara. Memang beberapa cerpen yang saya tayangkan di Kompasiana terinspirasi dari kisah nyata.Â
Mengasah Empati
"Jangan pernah memaksa orang memakai kacamata kuda," Itulah salah satu kata bijak yang pernah saya dengar di kedai kopi.Â
Dalam menulis, tentu perasaan ingin terlibat di dalam cerita merupakan dorongan yang kuat. Namun, tentunya hal itu harus memiliki keterkaitan dan sentuhan emosional. Dalam tahap ini, saya harus banyak belajar dari jawara senior rubrik fiksi, Zaldy Chan.Â
Sementara belum tercapai, saya mengambil cara untuk membuat formula menulis cerita berdasarkan ilmu yang saya dapat, saat ngopi bareng jawara rubrik Humaniora, Bang Fauji Yamin. Teknik reportase yang sederhana, tetapi efektif.Â
Singkatnya begini, "dalam merekam sebuah peristiwa, usahakan untuk terlibat lebih intim dengan narasumber." Dalam konteks menulis cerita fiksi, tentu harus melibatkan empati agar dapat mengambil sisi emosional dari kisah-kisah yang kita dengarkan.Â
Terlepas dari berbagai macam cara mengolah rasa. Seberapa besarnya ilham atau inspirasi yang kita terima dan do'a yang kita panjatkan, mengolah rasa menjadi karya tetaplah membutuhkan teknik dan ilmu.Â
Dan semua itu tidak gratis. Bahkan kita harus mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran untuk melahapnya. Tak perlu bicara soal materi itu sudah tentu, pengetahuan dan keterampilan tak melulu diukur berdasarkan bilangan angka. Bukankah berselancar di internet pun makan kuota.Â
Menulis fiksi di Kompasiana memang pilihan bagus. Namun, tak ada salahnya untuk mengikuti kelas menulis, komunitas atau diskusi dengan pakar kepenulisan, bukan? Aih, kapan kita ngopi lagi, Pak Katedra?
Semoga dengan begitu, sebuah "karya" dapat diakui sebagai karya oleh pembaca, dan tak hanya pengakuan yang singgah dalam benak pribadi semata.Â
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H