SUV hitam berhenti di depan lokasi proyek pembangunan gedung pencakar langit. Papan nama kontraktor yang dicoret tanda silang merah, bertengger di atas pagar pembatas berwarna biru muda. Di kanan-kiri berkibar panji-panji ormas tertiup angin.Â
Dua unit crane, lima unit ekskavator dan delapan belas unit dump truk, melintang di depan gerbang. Para pekerja, terlihat berkerumun dan tak berhenti berteriak di depan sebuah bangunan semi permanen yang bertuliskan "office" pada pintu kaca.Â
Lelaki flamboyan, berambut klimis disisir ke belakang, melangkah terburu-buru masuk ke lokasi proyek. Membawa sebuah map coklat di tangan kiri dan botol minum fiber di tangan kanan. Lelaki itu bernama Bono.
Ia terlihat mengambil pengeras suara dari pekerja yang memakai helm putih, dan menitipkan botol minum yang dibawa. Tak lama, bunyi sirine mengundang kerumunan tepat di muka lelaki tersebut.Â
"Selamat siang semuanya, hari yang panas. Saya menghargai waktu rekan-rekan sekalian. Dan sepertinya, tak perlu bicara panjang lebar pada masalah yang tengah rekan-rekan alami. Karena di sini, saya membawa solusi konkret," seru Bono.Â
Ucapan Bono terdengar laksana mantra. Para pekerja yang tadinya bergejolak, berteriak-teriak dengan membentang spanduk dan papan-papan bertuliskan kalimat bernada protes, seketika terlihat begitu tenang.Â
Mereka menurunkan papan dan spanduk yang diangkat tinggi-tinggi. Suasana mendadak hening. Bono mengangkat tangan kiri dan menunjukkan map coklat ke arah kerumunan pekerja.Â
"Saya butuh dua orang perwakilan pekerja, berdiri di sini bersama saya," pintanya.Â
Siang itu, Bono memberhentikan dua ratus orang pekerja. Ia membubarkan aksi protes tak sampai tiga puluh menit, sejak kehadirannya di tempat itu. Dan tak terlihat lagi saat iring-iringan pekerja keluar dari lokasi proyek.Â
Dua jam kemudian, Bono terlihat di sebuah ruangan kantor di daerah Bilangan Jakarta. Ia tengah berbincang dengan lelaki paruh baya. Botol minum fiber di atas meja, dimana Bono meletakkan secarik surat kesepakatan di bawahnya.Â
"Saya masih sanggup bekerja, Pak," ucap lelaki itu berbicara dengan nada tegas, lugas dan penuh keyakinan kepada Bono.Â
"Yakin? ada dua ratus orang yang harus kehilangan pekerjaan akibat kesanggupan bapak, loh," ucap Bono, seraya menatap dalam-dalam mata lelaki tersebut.Â
Tak lama, terlihat lelaki tersebut mengambil surat di bawah botol fiber milik Bono. Berlinang air mata, ia menandatangani surat tersebut. Setelah bersalaman, Bono meninggalkan lelaki tersebut keluar ruangan.
"Aih, telat!"
Tiga puluh menit sebelum take off. Bono berlari di lorong airport yang akan membawanya menuju pesawat ke Surabaya.Â
Malam menjelang. Lampu-lampu kota mulai bersinar. Dan Bono memandang cahaya Jakarta, dari jendela pesawat. Tak lama, ia membuka layar laptop dan memindahkan beberapa file pdf pada folder bertuliskan "done". Kemudian memutar daftar musik, seraya memasang headset.Â
Malam itu, Bono tertidur di bangku pesawat bersama alunan lagu berjudul No Surprises milik Radiohead. Dalam mimpinya, ia melihat langkah-langkah mungil buah hatinya yang tengah menyusuri pantai di bawah senja.Â
"Selamat pagi semua, terima kasih atas waktunya. Hari ini cerah, hari yang indah menikmati waktu bersama keluarga di Pantai Kenjeran."
Bono menuntaskan pekerjaan terakhir di pekan itu. Lima kota, dalam satu pekan ia singgahi. Tiga ratus lima puluh pekerja ia pulangkan ke rumah dengan senyuman. Meskipun banyak dari mereka memendam kekecewaan. Namun, mantra Bono selalu berhasil meredam amarah dan kegelisahan.Â
Seorang perempuan berhijab pink, berparas cantik yang kebetulan turun di lift yang sama bersama Bono, menyapa dengan ramah.Â
Sambil tersenyum manis ia berkata, "saya belum pernah melihat bapak di kantor pusat Jakarta? apa bapak pindahan dari cabang lain?"
"Saya tidak bekerja permanen untuk kantor anda. Semoga anda tidak bertemu saya di kemudian hari, karena itu artinya anda akan kehilangan pekerjaan," jawab Bono.Â
Sebelum pulang, Bono memutuskan untuk menemui teman lama bernama Steven di Surabaya. Mereka bertemu di sebuah cafe di daerah Gubeng. Terdengar tawa lepas tanpa henti dari arah meja mereka berjumpa. Â
"Bon, apa kamu tak pernah merasa tak enak? pekerjaan kamu, tiap hari hanya pecat orang," sambil menyeruput kopi, Steven mengajukan pertanyaan serius.Â
"Pecat?" ucap Bono sambil mengerutkan dahi.Â
"PHK lah. Sama kamu nih, mesti pilih kata-kata kalau obrolan serius," ucap Steven.
"Aku lebih nyaman menyebutnya dengan pembebasan," jawab Bono.Â
"Aku hanya membebaskan mereka dari kemitraan kerja yang tidak menyenangkan," ungkapnya.Â
"Perusahaan kerap memandang pekerja sebagai aset. Bukankah jika mereka memakai jasamu, berarti mereka gagal merawat asetnya?" lanjut Steven.Â
"Entah, aku selalu berpikir kata aset adalah kata pengganti dari sapi perah. Mereka harus mulai menempatkan pekerja sebagai mitra sepertinya. Dengan begitu, akupun akan kehilangan pekerjaan tentunya," tutup Bono.Â
Tetes terakhir espreso masih tertinggal di rongga mulut. Namun Bono memutuskan untuk beranjak dari cafe. Ia meminta Steven, mengantarnya ke Pantai Kenjeran.Â
Sore itu, bono menikmati sejenak suasana pantai. Ia memandang jauh ke lautan, dan melepas keterikatan pada tautan emosional dengan para pekerja yang "dibebaskan" sejak sepuluh tahun terakhir.Â
Selepas meninggalkan pesan kepada istri di rumah. Bono kembali memasang headset, ia menutup matanya dan terlelap di tepi pantai. Dan potongan lagu berjudul Lost My Religion milik R.E.M, menyeretnya kembali ke dalam mimpi panjang.Â
**
Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.
Indra Rahadian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H