Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pindahan

27 April 2021   13:26 Diperbarui: 27 April 2021   13:56 853
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Pindahan /Foto: Pixabay.

DUA bulan, usia bayi mungil Dea. Vivi dan Idan amat bahagia. Terlebih putri sulung mereka, Ana. Kehadiran anggota keluarga baru, tentu membawa kebahagiaan. 

Menjadi semangat tersendiri bagi Idan, untuk bekerja lebih giat. Lima tahun lamanya hidup di perantauan. Keluarga kecil ini, harus sejahtera, bahagia dan hidup berkecukupan. 

Begitu pula dengan Vivi. Meski kantung matanya kian berkerut dan menghitam, karena waktu tidur berkurang. Namun, kebahagiaan tengah menyelimuti hati.

Dan Ana, bahkan menyimpan beberapa boneka untuk dimainkan adik kecil. Meskipun, saat ini belum dapat bermain bersama. Namun, Ana sudah tidak lagi merasa kesepian. Katanya, main sendiri sangat membosankan. 

"Ayah, lihat boneka ini, lucu dan imut seperti adik." 

Hidup di daerah pinggiran Kota Tangerang, dengan tetangga di kiri dan kanan cukup memberi rasa aman. 

Namun sebagai figur Ayah, Idan menyadari jika mereka membutuhkan ruang yang lebih besar. Dan kontrakan petak dua sekat, kini terasa sempit dengan kehadiran si gadis bungsu.

Tak butuh waktu lama, Idan mendapat rumah kontrakan yang lebih besar. Memang, lebih jauh dari tempatnya bekerja. 

Namun lingkungan nyaman dan tidak terlalu berisik. Yang pasti, suasana pagi cukup asri untuk menjemur bayi. Tanpa takut kena asap-asap masakan tetangga. 

Vivi bersyukur, meskipun belum memiliki rumah sendiri. Namun, dengan suami yang bertanggung jawab. Semua usaha dan do'a akan menemukan jalan. 

Pindahan rumah kontrakan, memang sangat merepotkan. Namun cukup berkesan. Mereka menikmati suasana tenang dan asri di tempat baru. 

Malam terasa lebih dingin, mungkin karena kebun di belakang rumah. Kisi-kisi jendela belum terpasang, cat dinding yang mengelupas harus di poles baru, dan lubang di langit-langit dapur pun belum ditutup. 

"Sabar ya, Bun. Nanti gajian, baru beres-beres," Ucap Idan. 

Seorang Nenek memandang tetangga baru dengan resah, mungkin merasa terganggu dengan tangis bayi Dea di tengah malam. Namun, ia terlihat mengantar kue ke rumah itu. Paling tidak, sekedar menjaga hubungan baik antar tetangga. 

"Perkenalkan, saya Iroh. Aduh lucunya adik kecil, ini kakaknya juga cantik," ucap Nenek Iroh. 

Ana tidak begitu senang melihat Nenek Iroh, ia buru-buru bersembunyi di kamar setelah memberi salam. Ia terlihat khawatir, saat Nenek Iroh menggendong bayi Dea. Takut kenapa-kenapa. Matanya tak lepas, sampai sang Nenek pamit pulang. 

"Bunda, aku takut Nenek itu mengambil adik kecil," ucap Ana setengah berbisik. 

Vivi hanya tersenyum, sambil membelai rambut Ana. Beliau berkata, "tak baik berprasangka buruk, anak manis harus apa?" 

"Hormat sama orang tua," gumam Ana. 

Pekerjaan rumah belum selesai. Namun, biarlah menunggu Idan pulang. Beberapa perkakas dapur, masih berada di dalam kerdus. Peralatan memasak, belum semua tersusun dan bersihkan.  

"Bun, Ayah pulang larut. Lumayan dapat lemburan," dari ujung telepon, terdengar Idan berbicara. 

"Hati-hati, Ayah."

Tidak seperti malam pertama. Malam itu, udara terasa panas. Beruntung, bayi Dea sudah tertidur pulas. Namun, Ana terlihat tidak nyaman. 

Ia berguling-guling mencari posisi enak. Kadang memeluk bantal, dan sesekali melepaskannya. Hingga, Ana berguling ke arah Vivi. Barulah tenang dalam rangkulan. 

"Tubuh Bunda kok dingin," Ana kian erat memeluk Vivi. 

Tak lama, Ana merasa haus dan berjalan menuju dapur. Mencari lemari es, berjalan mengendap-endap. Ana segan membangunkan Ibunda. Ia tahu, hari ini Ibunda lelah membersihkan rumah. 

"Bundaaaa!! Bunda!!!"

Jeritan histeris Ana memecah kesunyian malam. Dengan tubuh gemetar, Ana terlihat sangat ketakutan. Kaki kecilnya tak bisa bergerak, wajahnya pucat pasi dan air mata mengalir deras. 

Tangis Ana kian keras, kala Vivi memeluk anak gadisnya. Vivi terlihat bingung, "apa gerangan yang telah terjadi."

Dengan sabar, Vivi menenangkan Ana. Ia tak henti membelai rambut dan mencium anak gadisnya. Di depan lemari es, di sudut dapur. Ana, masih gemetar dalam pelukan. 

"Bunda, bunda. Siapa, siapa yang tidur di kamar?" dengan nada terbata-bata, Ana bertanya pada Vivi. 

Ana mencoba menjelaskan kejadian yang dialami. Ia menunjuk-nunjuk ke arah kamar. Namun, lidahnya seakan kelu. Ketakutan masih menyelimuti hatinya. Dan Vivi, merasakan detak jantung anak gadisnya berdenyut begitu kencang. 

"Assalamualaikum, Bunda," Idan mengucapkan salam, seraya membuka pintu. 

Ana, meloncat dari pelukan Vivi dan berlari menyongsong sang ayah. Ia memeluk dan membenamkan wajahnya dalam-dalam. Hal itu, membuat Idan bertanya-tanya. 

"Bun, ada apa dengan Ana? kenapa terlihat ketakutan?" tanya Idan. 

"Bunda tak tahu, Yah. Tiba-tiba Ana histeris melihat Bunda di dapur. Lepas Dea bobok, Ana memang ditinggal di kamar sendiri," jelas Vivi. 

Tiba-tiba tangis bayi Dea terdengar dari dalam kamar. Vivi bergegas masuk dan meraihnya ke pangkuan. Ia berusaha menenangkan bayi Dea dengan memberi ASI. Dan Idan, menenangkan Ana yang belum berhenti menangis.

Malam begitu mencekam, gelegar halilintar menyambar-nyambar. Dan hujan deras tiba-tiba turun. Idan dan Vivi, meski dengan perasaan kalut tetapi berusaha tenang. 

Bunyi aliran air dari arah dapur terdengar kian deras. Decit atap seng yang bocor, berbunyi seperti tawa kuntilanak. Hingga, bunyi peralatan-peralatan dapur berjatuhan juga terdengar. 

Dengan rasa penasaran, Idan berjalan ke dapur sambil menggendong Ana. Ternyata, tak ada satupun peralatan dapur berjatuhan. Dan kebocoran di langit-langit dapur, hanya berupa tetesan-tetesan kecil. 

Malam itu, mereka berdua sama sekali tak berani memejamkan mata. Idan dan Vivi, merasa ada yang tidak beres dengan rumah kontrakan barunya. Meskipun hujan, hawa di dalam terasa panas dan mencekam.  

Keesokan pagi, tubuh Vivi terlihat lemas tak berdaya, bayi Dea tak berhenti menangis dan Ana mengalami demam. 

Idan menghubungi keluarganya di Pandeglang. Ia meminta mereka menjemput Vivi dan anak-anak di hari itu juga. Sebelum kondisi Vivi semakin lemah, dan keadaan bertambah buruk.

"Sudah pindahan lagi? semoga tidak terjadi apa-apa."

Dari balik jendela, Nenek Iroh menatap gelisah ke rumah itu. Ada sesuatu yang disimpan dalam hati dan meronta ingin disampaikan. Namun, Ia masih berusaha menahan diri dan menunggu waktu yang tepat. 

Menjelang sore, sebuah mobil berwarna abu-abu membawa keluarga itu tergesa-gesa keluar dari rumah. 

Dengan dibantu wanita paruh baya, Vivi masuk ke mobil sambil menggendong bayi Dea. Sementara Ana, terlihat duduk di depan dengan lelaki paruh baya. 

Tinggallah Idan sendiri, ia terlihat mengunci pintu dari luar. Dan saat akan menghidupkan motor, tiba-tiba Nenek Iroh menghampiri. 

"Maaf, kalau bisa rumah ini diselametin atau dido'akan, lalu dibersihkan betul-betul. Sudah lama kosong, sekitar dua tahun-an," Nenek Iroh berbicara setengah berbisik. Mencoba mengatur nada suaranya agar tidak terlalu tinggi dan didengar orang lain. 

Idan tidak terlalu jelas mendengar perkataan Nenek Iroh, ia mengira Nenek Iroh bertanya tentang kejadian semalam. Idan pun berkata, "mohon maaf, Nek. Semalaman anak-anak saya nangis-nangis sampai pagi."

"Saya yang minta maaf. Tadi malam mau ke sini, tetapi hujan deras," jawab Nenek Iroh. 

Idan bersiap memacu sepeda motor dan beranjak pergi. Ia berpikir untuk beristirahat di tempat kerja, dan besok baru menyusul Vivi. Namun, Nenek Iroh terlihat mendekat dan menahan Idan untuk pergi. 

Nenek Iroh menarik tangan Idan agar mendekat dan ia mulai berbisik-bisik. 

"Dua tahun lalu, adik saya meninggal di rumah ini. Dan jenazah baru ditemukan, setelah dua minggu tewas di dalam kamar. Itupun, setelah saya kembali dari kampung almarhum suami." 

Idan seketika merinding mendengar bisikan Nenek Iroh. Setelah mengucapkan pamit, ia memacu sepeda motor dan lekas meninggalkan rumah kontrakan. Dalam hati bimbang, akankah tetap bertahan atau kembali pindah kontrakan. 

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun