Malam terasa lebih dingin, mungkin karena kebun di belakang rumah. Kisi-kisi jendela belum terpasang, cat dinding yang mengelupas harus di poles baru, dan lubang di langit-langit dapur pun belum ditutup.Â
"Sabar ya, Bun. Nanti gajian, baru beres-beres," Ucap Idan.Â
Seorang Nenek memandang tetangga baru dengan resah, mungkin merasa terganggu dengan tangis bayi Dea di tengah malam. Namun, ia terlihat mengantar kue ke rumah itu. Paling tidak, sekedar menjaga hubungan baik antar tetangga.Â
"Perkenalkan, saya Iroh. Aduh lucunya adik kecil, ini kakaknya juga cantik," ucap Nenek Iroh.Â
Ana tidak begitu senang melihat Nenek Iroh, ia buru-buru bersembunyi di kamar setelah memberi salam. Ia terlihat khawatir, saat Nenek Iroh menggendong bayi Dea. Takut kenapa-kenapa. Matanya tak lepas, sampai sang Nenek pamit pulang.Â
"Bunda, aku takut Nenek itu mengambil adik kecil," ucap Ana setengah berbisik.Â
Vivi hanya tersenyum, sambil membelai rambut Ana. Beliau berkata, "tak baik berprasangka buruk, anak manis harus apa?"Â
"Hormat sama orang tua," gumam Ana.Â
Pekerjaan rumah belum selesai. Namun, biarlah menunggu Idan pulang. Beberapa perkakas dapur, masih berada di dalam kerdus. Peralatan memasak, belum semua tersusun dan bersihkan. Â
"Bun, Ayah pulang larut. Lumayan dapat lemburan," dari ujung telepon, terdengar Idan berbicara.Â
"Hati-hati, Ayah."
Tidak seperti malam pertama. Malam itu, udara terasa panas. Beruntung, bayi Dea sudah tertidur pulas. Namun, Ana terlihat tidak nyaman.Â