"Bunda tak tahu, Yah. Tiba-tiba Ana histeris melihat Bunda di dapur. Lepas Dea bobok, Ana memang ditinggal di kamar sendiri," jelas Vivi.Â
Tiba-tiba tangis bayi Dea terdengar dari dalam kamar. Vivi bergegas masuk dan meraihnya ke pangkuan. Ia berusaha menenangkan bayi Dea dengan memberi ASI. Dan Idan, menenangkan Ana yang belum berhenti menangis.
Malam begitu mencekam, gelegar halilintar menyambar-nyambar. Dan hujan deras tiba-tiba turun. Idan dan Vivi, meski dengan perasaan kalut tetapi berusaha tenang.Â
Bunyi aliran air dari arah dapur terdengar kian deras. Decit atap seng yang bocor, berbunyi seperti tawa kuntilanak. Hingga, bunyi peralatan-peralatan dapur berjatuhan juga terdengar.Â
Dengan rasa penasaran, Idan berjalan ke dapur sambil menggendong Ana. Ternyata, tak ada satupun peralatan dapur berjatuhan. Dan kebocoran di langit-langit dapur, hanya berupa tetesan-tetesan kecil.Â
Malam itu, mereka berdua sama sekali tak berani memejamkan mata. Idan dan Vivi, merasa ada yang tidak beres dengan rumah kontrakan barunya. Meskipun hujan, hawa di dalam terasa panas dan mencekam. Â
Keesokan pagi, tubuh Vivi terlihat lemas tak berdaya, bayi Dea tak berhenti menangis dan Ana mengalami demam.Â
Idan menghubungi keluarganya di Pandeglang. Ia meminta mereka menjemput Vivi dan anak-anak di hari itu juga. Sebelum kondisi Vivi semakin lemah, dan keadaan bertambah buruk.
"Sudah pindahan lagi? semoga tidak terjadi apa-apa."
Dari balik jendela, Nenek Iroh menatap gelisah ke rumah itu. Ada sesuatu yang disimpan dalam hati dan meronta ingin disampaikan. Namun, Ia masih berusaha menahan diri dan menunggu waktu yang tepat.Â
Menjelang sore, sebuah mobil berwarna abu-abu membawa keluarga itu tergesa-gesa keluar dari rumah.Â
Dengan dibantu wanita paruh baya, Vivi masuk ke mobil sambil menggendong bayi Dea. Sementara Ana, terlihat duduk di depan dengan lelaki paruh baya.Â