"Tentu, meski kadang aku di panggil dengan nama 203 atau 115," jawabku.Â
Dia hanya tertawa, entah apa yang terdengar lucu. Namun tetap saja, aku merasa nyaman saat menghamburkan obrolan dengan Jack.Â
"Apa yang membawamu ke tempat ini, Joan?" Jack kembali bertanya.Â
"Aku terpikat pada malam dan tersesat di sini. Tenggelam pada dentuman musik dan nyanyian. Hingga, terbiasa berbagi nafas dan kehangatan bersama ribuan orang yang terjaga saat malam. Menari di bawah lampu-lampu yang lebih terang daripada bintang."
"Mungkin, lebih hangat dari sentuhan cahaya mentari. Ah, aku lupa rasanya, kehidupan di bawah sinar matahari itu seperti apa?" jawabku.
Mendengar jawabanku yang panjang lebar, Jack kembali tertawa. Dia menatap jauh ke dalam mataku dan berkata, "kau, harusnya tidak memilih berada di sini."
Akupun menjawab, "kata orang, hidup itu adalah pilihan. Kita hanya tinggal memilih, hidup seperti apa yang ingin kita jalani. Semudah itu? Ah, teori."
Aku merasa kedekatan kami sudah melewati batas. Bahkan, suatu ketika pemilik pub melarangku melayani tamu. Tugasku kini, menyiapkan room dan pesanan minuman. Setelahnya, aku diminta menemani Jack.Â
"Jack, boleh aku memanggilmu dengan nama lain?" ucapku.Â
"Misalnya?" tanya Jack.Â
"Sayang," jawabku.Â