TIGA bunyi letusan pistol terdengar di ujung jalan. Dua orang lelaki tegap merangsek masuk ke dalam kerumunan. Memapah seorang lelaki berlumuran darah, dan masuk ke salah satu ruangan di pub tempatku bekerja.Â
Satu jam lebih mereka berada di ruangan, dan tak ada seorangpun yang berani masuk ke dalam untuk memastikan yang terjadi. Hingga sebuah SUV warna hitam menjemput tiga lelaki tegap, dan pergi dari tempat ini.
Di sini, terdapat peraturan tak tertulis yang berbunyi, "tak ada yang peduli urusan orang lain, jika belum sampai menjadi urusannya."
Pemandangan seperti itu, bukan pertama kali. Di sini, di tempat ini. Desing peluru laksana detak jantung, denyut kehidupan malam yang tak pernah usai.Â
"Hei, cantik. Bawakan aku whiskey dan minta cleaning service membersihkan tempat ini."
Lelaki itu sudah seminggu berada di sini. Entah apa yang dia kerjakan, yang pasti ia bukan orang sembarangan. Pemilik pub, sampai memberikan satu ruangan khusus untuknya.Â
Dia terluka, tapi seolah tak merasakan apa-apa. Dan aku menerima tugas, untuk memastikan kebutuhan lelaki itu terpenuhi selama di sini. Sejak malam itu, kami menjadi cukup dekat. Dan aku akhirnya tahu, lelaki itu bernama Jack.Â
Suatu ketika, Jack membawaku keluar dari pub. Ia mengajakku pergi ke taman di pusat kota. Melihat suasana malam yang lain, jauh dari hingar bingar musik dan kerumunan.
Aku merasa semakin dekat dengannya. Tak butuh waktu lama, obrolan kami mengalir di tiap malam. Dia selalu ada saat aku bekerja dan selesai bekerja.Â
Kadang, kami makan bersama sebelum pagi menjelang. Ya, jam tidurku ditandai terbitnya matahari.Â
"Joana, apa itu nama asli?" dia bertanya.Â