Suatu hari, Hendi mendapati air sumur di belakang rumah telah mengering. Iapun bergegas turun dan memeriksa dasar sumur.Â
Benar saja, tak ada setetes air di dalam sumur. Ia memutuskan untuk menggali dasar sumur lebih dalam. Berharap, ada sumber air yang ditemukan.Â
Semakin dalam menggali, belum ada setetes air ditemukan. Hingga, Hendi kelelahan dan memutuskan menyerah. Ia berpikir untuk sementara mengambil air dari sungai. Meskipun cukup jauh jarak dengan rumah.Â
Kala keluar dari dalam sumur, Hendi terkejut melihat sang istri berlinang air mata. Di tepi sumur, sang istri tengah menggenggam tanah galian yang mengandung butiran emas.Â
Sang Istri berkata, "Kakanda, sungguh Tuhan mendengar doa-doa kita."
Berita tersebar ke penjuru negeri tentang Hendi yang menemukan butiran emas di belakang rumah. Para tetangga, memberi ucapan selamat dan ikut berbahagia. Hendi dan istri terkenal dermawan sejak lama. Meski hidup kesusahan, tak jarang mereka membantu sesama sesuai kemampuan.Â
Mereka sempat hidup berkecukupan, sampai tiba utusan raja yang berkunjung ke rumah Hendi. Mereka, mengusir Hendi dan istri dari tanahnya atas nama kerajaan. Sebagai ganti, kerajaan akan memberikan sebidang tanah lain di tepi hutan di luar perkampungan.
Hendi tak kuasa menolak, begitu pula dengan sang istri. Sebagai rakyat biasa, tentu harus pasrah pada titah raja.Â
Meski para warga kecewa dengan keputusan raja. Namun, mereka tak kuasa berbuat apa-apa, karena Hendi menyanggupi untuk segera pergi esok hari.Â
Saat merapikan barang-barang untuk berkemas pergi, Hendi melihat bakul nasi milik istrinya. Ia teringat pada tangisan sang istri yang menahan lapar tempo hari.Â
Banyak warga berkumpul di depan rumah dan menyampaikan rasa simpati. Hendi melihat wajah-wajah tetangga yang kusam dan hidup susah.Â
Ia berpikir selama ini, dirinya dan warga kampung tak pernah mendapat kesempatan memperbaiki hidup dalam naungan kerajaan.Â