HARI yang cerah di lapak Pak Koming, di negeri dongeng. Di sana, cabai hijau kerap dipandang sebelah mata. Bernasib sama dengan cabai rawit, dan seolah-olah menjadi kasta rendahan dari bangsa cabe-cabean.Â
Meskipun berukuran lebih besar, tetap saja tak bernilai. Meskipun jumlahnya banyak, tetap saja tak dilirik. Meskipun kualitasnya bagus, ya terserah selera yang punya kuasa. Hanya diambil satu dua, ditempatkan pada etalase paling depan.Â
Kemungkinan dipilih, tidak selalu karena lama dalam keranjang atau mudah terlihat. Banyak yang sampai membusuk dan mati. Bisa karena putus asa, malu, atau tertutupi.Â
Jo, si cabe hijau melihat hal itu kurang adil, dibandingkan dengan cabe-cabean warna lain. Jumlah dan kualitas boleh di adu. Tak jarang, cabai busuk berwarna lain langsung dipilih begitu saja. Diletakan pada etalase depan dan laku terjual.Â
Lain dengan kaum cabe hijau yang punya kualitas bagus, harus menanti keajaiban dan berdo'a hanya untuk dipilih.Â
Dengan rasa penasaran, Jo bertanya pada kaum cabai berwarna. Jawabannya diplomatis, yaitu sabar, tetap semangat dan jangan berhenti berusaha.Â
Namun, ia melihat begitu banyak cabai hijau yang berusaha, sabar dan tetap semangat. Tetap saja, tak berharga.Â
"Aku kesal, sudah berusaha maksimal. Eh, malah tidak dipilih!" keluhnya.Â
Paprika yang berada di sebelah keranjang, mendengar keluhan Jo. Dan iapun berkata, "jangan takut, lama-lama kau akan terbiasa. Beban hanya akan membuatmu malas berusaha."
Jo, berpikir ada benarnya. Keinginan malah jadi beban. Padahal, dengan berada di keranjang dan dilihat pembeli, itu lebih dari cukup. Meskipun, harus berusaha lebih keras agar terlihat lebih banyak pembeli.Â