Mohon tunggu...
Indra Rahadian
Indra Rahadian Mohon Tunggu... Administrasi - Pegawai Swasta

Best In Fiction Kompasiana Award 2021/Penikmat sastra dan kopi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Jangkrik Bos!

10 Maret 2021   22:03 Diperbarui: 10 Maret 2021   22:07 726
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Cerpen: Jangkrik Bos! (Foto: szabfer via Pixabay)

"Nomor yang anda tuju sedang sibuk, cobalah beberapa saat lagi."

HAMID resah, keringat dingin menetes dalam ruang ber-AC. Ujung jarum jam menyentuh angka tujuh. Menambah kerutan dahi pada wajah pucatnya, di malam itu. Ia terduduk layu dan gelisah, pasrah dan ketakutan bertaut dalam hatinya. 

Derap sepatu lars terdengar di balik pintu. Hamid, menangis sejadi-jadinya. Lutut lemas tak bisa bergerak. Kedua tangan, menahan kepalanya seakan hampir copot.  

Ia menatap nanar pada gagang pintu di ujung ruangan. Menanti pemilik derap langkah yang semakin dekat. Ingatannya melayang pada pertemuan dua tahun lalu.

Jakarta, 15 Maret 2019

Hot macchiato dalam cangkir sudah tak bersisa. Hamid menanti klien, dua jam lebih dengan sabar. Membatalkan seluruh jadwal meeting, untuk bertemu dengan seorang klien yang tercatat di agenda dengan predikat kakap.

Lamborghini oranye melintas di depan cafe tempat Hamid menanti. Tatapan Hamid tak lepas dari mobil mewah itu. Tiba masuk ke area parkir. Senyum terkembang saat mengetahui, pengemudi yang turun dari mobil adalah orang yang ditunggu. "Kakap!"

"Selamat siang, sudah lama menunggu?" sapa orang tersebut. 

"Tidak apa, untuk Tuan Clif tak masalah menunggu," jawab Hamid. 

"Ok, to the point saja ya. Untuk dua tower apartemen, proposal kalian sangat menarik. Dapat anda jelaskan, kenapa bisa begitu jauh harga yang ditawarkan?" tanya Tuan Clif. 

"Kata kuncinya, birokrasi, Tuan" jawab Hamid. 

Tawa keduanya memecah suasana di cafe tersebut. Ngopi berbuah kesepakatan, berlanjut di room karaoke dan berakhir di kantor notaris. 

Bahagianya Hamid mendapatkan proyek, ia bergegas melaksanakan rapat dengan seluruh manajer untuk melaksanakan proyek kakap yang lama dinanti. 

Manajer operasional mengemukakan pendapat dan bersitegang dengan Hamid. Iapun berkata, "Pak Hamid, kita mau buat apartemen atau bedeng kaki lima!"

Sehari setelah peristiwa tersebut, manajer operasional sudah berganti orang baru. Manajer lama tak jelas nasibnya, apakah diberhentikan atau mengundurkan diri.

"Hamid, apapun yang kamu lakukan? jangan pertaruhkan reputasi perusahaan ini!" ucap Big Bos, sambungan langsung internasional terdengar jelas dari USA. 

Hamid menjawab, "kita sudah lakukan praktek ini bertahun-tahun, Bos. Sepuluh tahun, saya ikut Bos di perusahaan yang sudah berulangkali ganti nama dan akta notaris, kan!"

"Jangkrik Bos!"

Mulai dari pembebasan lahan, entah berapa kata "jangkrik" memenuhi isi pesan pribadi Hamid. Hingga tiba peresmian bangunan, kata "jangkrik" itu semakin sesak mengisi pesan. 

Hamid limbung, mengatur "jatah" untuk mereka. Baik yang tiap hari bolak-balik kantor, lokasi proyek, atau sekedar telepon. Hingga, membuat janji di cafe atau hotel. 

Reduce cost besar-besaran ia lakukan untuk menutup biaya tetek bengek. Tak lupa sunat biaya sana-sini untuk masuk kantong pribadi. Kualitas bangunan nomor sekian, yang lebih penting adalah tampilan luar. Dari mulai perijinan dan bahan konstruksi, pakai rumus simsalabim.

"Jangkrik!" keluh Hamid di meja kantor. 

Hari itu, Hamid baru saja memecat manajer keuangan yang menolak menandatangani permohonan biaya entertain untuk para pejabat dan tokoh ormas, terkait proyek tersebut. 

Hingga, suasana kantor benar-benar membutuhkan suara jangkrik saking sepi dari pegawai. Hampir seluruh staf dan manajer mengundurkan diri atau diberhentikan. Berganti pegawai baru yang belum paham pada tingkah dan pola kerja Hamid. 

Gedung apartemen dua tower mulai dipasarkan. Laris manis, tak sampai sebulan sudah sold out. Lokasi kurang strategis, tak masalah. Kebutuhan akan pemukiman kian tinggi. Terlebih, bagi mereka yang bekerja di pusat kota. 

Enam bulan setelah selesai pelunasan biaya, tak terdengar komplain dari penghuni dan pengelola gedung. Hamid merasa aman, tentram dan bahagia. Dua minggu penuh, ia berlibur ke Jepang. Menikmati keberhasilan merampungkan proyek besar, untuk kesekian kalinya. 

Jakarta, 10 Maret 2021

Suara reporter berita, berdengung dalam pikiran Hamid. Breaking news tadi pagi, yang ia dengar laksana bunyi sangkakala. 

"Apartemen dua tower penuh penghuni, ambruk dan terbakar. Hingga berita ini diturunkan, jumlah korban masih belum terkonfirmasi."

Hamid sudah ada di rumah tahanan. Kursi empuk kantor, berganti kursi plastik di dalam sel. Ia menggenggam erat jeruji besi dan menyimpan dendam, pada orang-orang yang meninggalkan dirinya saat dibutuhkan. 

Bos, pejabat, aparat, kuasa hukum, vendor dan tokoh-tokoh ormas, tak ada satupun yang mengangkat telepon dari Hamid. Ia hanya bisa pasrah menerima nasib.

Malam itu, terdengar bunyi jangkrik dari lubang ventilasi yang menghadap halaman belakang rumah tahanan. Dengan kesal dan penuh amarah, Hamid berteriak. 

"Jangkrik!!!"

**

Cerita ini hanya fiktif belaka, kesamaan nama, tokoh dan tempat hanyalah kebetulan semata.

Indra Rahadian

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun