Tawa keduanya memecah suasana di cafe tersebut. Ngopi berbuah kesepakatan, berlanjut di room karaoke dan berakhir di kantor notaris.Â
Bahagianya Hamid mendapatkan proyek, ia bergegas melaksanakan rapat dengan seluruh manajer untuk melaksanakan proyek kakap yang lama dinanti.Â
Manajer operasional mengemukakan pendapat dan bersitegang dengan Hamid. Iapun berkata, "Pak Hamid, kita mau buat apartemen atau bedeng kaki lima!"
Sehari setelah peristiwa tersebut, manajer operasional sudah berganti orang baru. Manajer lama tak jelas nasibnya, apakah diberhentikan atau mengundurkan diri.
"Hamid, apapun yang kamu lakukan? jangan pertaruhkan reputasi perusahaan ini!" ucap Big Bos, sambungan langsung internasional terdengar jelas dari USA.Â
Hamid menjawab, "kita sudah lakukan praktek ini bertahun-tahun, Bos. Sepuluh tahun, saya ikut Bos di perusahaan yang sudah berulangkali ganti nama dan akta notaris, kan!"
"Jangkrik Bos!"
Mulai dari pembebasan lahan, entah berapa kata "jangkrik" memenuhi isi pesan pribadi Hamid. Hingga tiba peresmian bangunan, kata "jangkrik" itu semakin sesak mengisi pesan.Â
Hamid limbung, mengatur "jatah" untuk mereka. Baik yang tiap hari bolak-balik kantor, lokasi proyek, atau sekedar telepon. Hingga, membuat janji di cafe atau hotel.Â
Reduce cost besar-besaran ia lakukan untuk menutup biaya tetek bengek. Tak lupa sunat biaya sana-sini untuk masuk kantong pribadi. Kualitas bangunan nomor sekian, yang lebih penting adalah tampilan luar. Dari mulai perijinan dan bahan konstruksi, pakai rumus simsalabim.
"Jangkrik!" keluh Hamid di meja kantor.Â
Hari itu, Hamid baru saja memecat manajer keuangan yang menolak menandatangani permohonan biaya entertain untuk para pejabat dan tokoh ormas, terkait proyek tersebut.Â